
Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik langkah Badan Gizi Nasional yang berkukuh menjalankan program makan bergizi gratis atau MBG saat musim libur sekolah atau Natal dan Tahun Baru.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan program MBG sudah berjalan setahun dengan berbagai tantangan seperti makanan basi hingga tidak memenuhi standar gizi. Menurut dia, masa libur sekolah seharusnya menjadi waktu evaluasi.
“Ada wilayah yang lebih membutuhkan dana ini sekarang, ketimbang dompet konglomerat yang sudah penuh. Jadikan libur sekolah ini untuk mengevaluasi MBG, bukan dijadikan waktu untuk balik modal lebih cepat pemilik SPPG,” kata Nailul dalam keterangan tertulis, Selasa, 23 Desember 2025.
Nailul mengatakan sumber anggaran program MBG ini membuat uang pajak masyarakat tidak digunakan dengan baik dan benar.
Per Desember 2025, sudah ada 17.555 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah berjalan. Abila masing-masing SPPG menyediakan 3.000 porsi tiap hari, ada 526,65 juta yang disediakan di musim libur.
Menurut Nailul, dengan harga rata-rata Rp 15 ribu per porsi, ada Rp 7,9 triliun uang masyarakat yang dipakai.
“Apakah tidak berat bagi negara untuk menunda dan mengalihkan bagi masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara yang tengah kesusahan. Apakah tidak lebih baik menambah anggaran untuk mereka jika pun sudah ada anggaran,” katanya.
Ia menilai sebetulnya tidak berat bagi pemerintah jika serius ingin menghentikan sementara program MBG dan mengalihkan anggaran untuk bencana Sumatera. Sebaliknya, ia malah menduga ada pemain dan kroni pemerintah yang mencari keuntungan di balik pemaksaan pembagian MBG di masa libur panjang saat ini.
Dalam hitungannya, dengan potensi laba per dapur mencapai 13,3 persen atau Rp 2 ribu dari pagu Rp 15 ribu per porsi, ada sekitar Rp 1 triliun laba yang masuk ke kantong pengusaha SPPB. “Tahu siapa yang punya SPPG? Ya kroni pemerintah,” katanya.
Di samping itu, Nailul mengkritik rencana BGN merapel MBG beberapa hari dalam satu paket yang tidak jauh dari makanan dalam kemasan. Kemasan itu meliputi untuk biskuit, jajan ringan, susu dalam kemasan, hingga roti.
Alih-alih dimiliki pengusaha mikro dan kecil, Nailul mengatakan aneka kebutuhan MBG justru kembali masuk ke kantong konglomerat. Uang Rp 7,9 triliun masuk lebih banyak ke konglomerat, bukan ke pedagang sayur di pasar, petani sayur di daerah. “Yang menikmati adalah orang besar yang duduk dalam kursi mewahnya di rumah yang megah.”
Oleh sebab itu ia menyayangkan kalau penyaluran MBG saat masa liburan akhirnya hanya bakal memperkaya konglomerat yang kekayaannya bisa 1.000 kali lipat dari pekerja kantoran dengan gaji UMR.
(Sumber: TEMPO)







Komentar