✍🏻Erizal
Agaknya Jokowi ingin meniru JK (Jusuf Kalla). JK dulu konon memaafkan Silfester Matutina dalam kasus pencemaran nama baik, tapi proses hukumnya jalan terus. Bahkan sampai ke kasasi MA dan diputuskan bersalah. Sayangnya hukum tak berdaya mengeksekusi Silfester sampai hampir 7 tahun, dan hingga saat ini.
Jokowi juga akan memaafkan para tersangka kasus ijazahnya, tapi proses hukum jalan terus. Hanya saja tak pula semuanya, kecuali Roy, Rismon, Tifa (RRT). Dan kasus pencemaran nama baik Jokowi tak seperti JK, yang murni pencemaran nama baik. Melainkan, pasal berlapis. RRT malah sampai diancam 12 tahun penjara.
Maka tidak salah kalau Roy Suryo mengatakan Jokowi jahat. Sebab bisa dilihat dari penerapan pasal-pasalnya. Jauh sekali dibandingkan JK terhadap Silfester. Jokowi tak bisa mengatakan sedang memberi pelajaran. Tapi lebih tepatnya, balas dendam, pemb*n*han. Rencana pemaafan bisa dimaknai hanya menutupi niat awalnya.
Apalagi kasus Jokowi hanyalah kasus ijazahnya, yang sudah pula dipakainya berkali-kali untuk menjadi Wali Kota, Gubernur, dan Presiden. Sudah memenjarakan dua orang pula. Artinya, ijazah itu tak ada lagi gunanya, kalau benar-benar asli. Tinggal dibuktikan saja seperti yang sudah dicontohkan Hakim MK Arsul Sani dengan amat baik.
Arsul Sani yang tak mendapatkan sebanyak yang didapatkan Jokowi dari Republik ini, enteng saja membuka ijazahnya di hadapan publik dan tidak pula melaporkan balik orang yang melaporkannya. Jokowi tak hanya dia, anak dan menantunya dapat segalanya, kok masih saja ingin memenjarakan warga negara?
Seharusnya bukan Jokowi yang memaafkan para tersangka, tak terkecuali RRT. Melainkan Jokowi-lah yang seharusnya meminta maaf karena sudah secara emosional melaporkan mereka dengan pasal berlapis, hanya karena masalah ijazah yang sudah kadaluwarsa, kalau benar ijazah Jokowi itu benar-benar asli.
Tak ada orang yang bisa mengatakan ijazah seseorang palsu, termasuk RRT, kalau memang ijazah itu asli. Penelitian canggih apa pun, tak bisa memutar-balikkan itu. Jokowi harus sadar bahwa kecurigaan orang pada ijazahnya justru berasal dari dirinya sendiri. Soal Pak Kasmudjo, IPK kurang dari 2, foto yang lain dari yang lain, misalnya.
Boleh dibilang terlambat ide pemaafan Jokowi kepada para tersangka, setelah sejauh ini berjalan. Kecuali ide pemaafan itu dibarengi dengan pencabutan laporan dan diiringi pula membuka ijazah itu secara sukarela dan dipersilakan siapa pun yang hendak mengujinya, untuk mengujinya. Yakinlah, yang asli akan tetap asli, begitu sebaliknya. RRT tak akan bisa memutar-balikkan.
Maka wajar juga, karena terlambat itu, orang justru mencurigai bahwa ide pemaafan itu adalah strategi untuk menutupi kebenaran yang sebenarnya dari ijazah itu.
Bayangkan, ijazah itu asli pun orang sudah sulit mempercayainya, apalagi kalau benar-benar palsu.
Itu semua karena permainan politik buatan Jokowi, tapi Jokowi justru menuduh pihak lain pula yang sedang memainkannya.
Siapa yang seharusnya dipercaya?
(*)







Komentar