Benarkah Rakyat Aceh Tidak Tahu Berterima Kasih?

Oleh: Risman Rachman

Resume:

1. Penyelamatan Bukan “Kebaikan Hati”: Menyelamatkan warga adalah tugas pokok negara yang dibiayai pajak rakyat. Kritik masyarakat terhadap kelambanan penanganan adalah bentuk hak partisipasi publik, bukan tanda tidak tahu berterima kasih.

2. Keterbatasan Daerah: Sebesar apa pun anggaran daerah (BTT), untuk bencana skala masif, kapasitas lokal ibarat “melempar garam ke laut”. Tanpa dukungan Pusat lewat Status Bencana Nasional, pemulihan akan berjalan pincang.

3. Hifzhun Nafs (Melindungi Jiwa): Dalam Syariat Islam, tujuan tertinggi (Maqashid al-Syari’ah) adalah melindungi nyawa. Menuntut negara bekerja cepat adalah perintah agama yang jauh lebih keras daripada sekadar prosedur birokrasi.

4. Waspada Operasi Informasi: Jangan mudah menstempel keluhan warga sebagai “hoaks”. Sering kali, fakta lapangan justru coba “dihilangkan” atau diputarbalikkan demi menjaga citra agar terlihat baik-baik saja.

5. Negara Hadir Lewat Kebijakan: “Negara Hadir” bukan cuma soal bagi-bagi sembako, tapi soal keputusan Presiden untuk memotong jalur birokrasi yang kaku agar penyelamatan nyawa tidak terhambat administrasi.

6. Harusnya penyelenggara negara yang berterimakasih kepada rakyat Aceh yang masih bersedia melihat bencana ini sebagai takdir. Jika rakyat Aceh melihat ini sebagai ekosida maka peta politik akan berubah.

***

    Belakangan ini, ruang publik kita riuh dengan perdebatan mengenai penanganan bencana di Aceh. Muncul sebuah narasi yang cukup menyakitkan: bahwa rakyat Aceh seolah “tidak tahu berterima kasih” atas bantuan yang diberikan.

    Narasi ini biasanya dibarengi dengan tudingan bahwa suara kritis masyarakat hanyalah hasil provokasi kelompok tertentu yang ingin membangun sentimen kebencian terhadap negara.

    Namun, benarkah demikian? Mari kita dudukkan persoalannya secara jernih melalui kacamata tata kelola negara, kontrak sosial, dan nilai luhur yang kita anut.

    Pelayanan Publik Bukanlah “Kebaikan Hati”

    Pertama, kita harus menjernihkan batasan antara bantuan personal dan kewajiban institusional.

    Penyelamatan warga negara adalah tugas pokok konstitusional penyelenggara negara.

    Mereka bekerja dengan dukungan anggaran dari pajak rakyat, difasilitasi regulasi, dan digaji oleh negara untuk tujuan tersebut.

    Jika negara berhasil melindungi warga, itu adalah penunaian tugas; jika gagal, lemah, atau lambat, maka masyarakat memiliki hak—bahkan kewajiban—untuk mengkritiknya.

    Kritik dalam situasi bencana bukanlah bentuk ketidaktahuan berterima kasih, melainkan bentuk partisipasi publik yang dilindungi undang-undang.

    Di dalam sistem demokrasi, diamnya rakyat saat nyawa dan martabatnya terancam justru menjadi tanda bahaya bagi kesehatan tata kelola pemerintahan.

    Kritik Daerah: Melempar Garam ke Laut

    Ada argumen yang menyebutkan bahwa yang seharusnya dikritik pejabat daerah yang dinilai lamban. Tentu, pemerintah daerah bukan tanpa celah.

    Namun, dengan tingkat kerusakan yang begitu masif, kapasitas daerah memiliki batasan nyata. Secepat apa pun birokrasi daerah bergerak, dalam skala bencana sebesar ini, upaya mereka ibarat “melempar garam ke dalam laut yang asin”.

    Anggaran dan kewenangan daerah tidak akan pernah cukup tanpa intervensi nasional yang luar biasa melalui penetapan status bencana nasional.

    Syariat Islam dan Kewajiban Melindungi Jiwa

    Dalam konteks Aceh yang menerapkan Syariat Islam, argumen perlindungan warga negara ini justru menjadi jauh lebih kuat. Salah satu tujuan utama syariat (Maqashid al-Syari’ah) adalah Hifzhun Nafs atau melindungi jiwa manusia.

    Agama memerintahkan dengan sangat keras agar keselamatan nyawa diutamakan di atas segala prosedur birokrasi dan sekat-sekat administratif.

    Maka, menuntut negara untuk bergerak cepat bukanlah sebuah pembangkangan, melainkan perwujudan dari nilai syariat yang kita pegang.

    Pemimpin yang mengabaikan atau lambat dalam menyelamatkan jiwa rakyatnya bukan hanya gagal secara konstitusi, tapi juga memiliki beban pertanggungjawaban moral yang besar di hadapan agama.

    Labirin Informasi dan Operasi “Hoaks”

    Kita juga perlu berhati-hati dalam menggunakan label “hoaks” terhadap keluhan masyarakat.

    Negara memiliki segenap peralatan canggih dan anggaran besar untuk mendeteksi fakta. Namun, ironisnya, sering kali terjadi operasi sebaliknya: fakta lapangan yang pahit diputarbalikkan agar terlihat seperti hoaks demi menjaga citra.

    Konten warga yang kesulitan terkadang diredam atau dibatasi agar situasi terbaca “baik-baik saja”.

    Menstempel keluhan warga sebagai provokasi tanpa verifikasi yang jujur adalah bentuk pengabaian terhadap realitas penderitaan masyarakat.

    “Negara Hadir” yang substansial adalah hadirnya keputusan politik tertinggi dari Presiden.

    Tanpa penetapan Status Bencana Nasional, pergerakan aparat (TNI, Polri, BNPB) akan selalu terbentur aturan anggaran yang kaku.

    Negara benar-benar hadir jika pusat mengambil komando penuh untuk memotong kompas birokrasi demi tugas penyelamatan. Menuntut hal ini adalah desakan agar negara bekerja pada kapasitas maksimalnya.

    Penutup

    Mengarahkan kritik ke pemerintah pusat bukan berarti mengabaikan tindakan baik yang sudah dilakukan oleh petugas di lapangan atau memaklumi kelemahan pejabat daerah.

    Ini adalah tuntutan agar otoritas tertinggi negara hadir memberikan perlindungan nyawa yang efektif.

    Rakyat Aceh jelas tahu cara beradab dan berterima kasih. Di lapangan semua bahu membahu, termasuk dengan prajurit yang bahkan ada yang ikut “bertaruh nyawa” untuk melakukan penyelamatan.

    Jadi, andai negara hadir, tentu mereka akan melakukan tugasnya dengan lebih maksimal, juga aman.

    Namun dalam urusan bernegara, rakyat adalah pemilik kedaulatan yang berhak menuntut profesionalisme dan keadilan dari mereka yang telah diberi amanah untuk mengelola negeri ini.

    Beruntung rakyat Aceh masih melihat bencana ini dari sudut pandang teologis bahwa tidak ada satu kejadian yang berlangsung tanpa izin Ilahi. Selama ini semua peristiwa dimaknai sebagai ujian keamanan.

    Bayangkan bila rakyat Aceh satu kata melihat bencana ini sebagai bagian dari tindakan ekosida, pembasmian rakyat Aceh lewat serangan kebijakan atas alam dan lingkungan? Peta politik bisa saja berubah dengan jalan ekstrem sebagaimana ekstremnya curah hujan di bulan November 2025 lalu.

    (*)

    Komentar