Belajar dari Ferry Irwandi, dari Solusi Cabai Hingga Solusi Panel Surya. Tidakkah Kita Tertampar?

Belajar dari Ferry Irwandi, dari Solusi Cabai Hingga Solusi Panel Surya. Tidakkah Kita Tertampar?

​✍🏻Nora Margaret (Bu Guru)

Bu Guru tercekat dengan informasi:
Lagi-lagi, Ferry Irwandi membuktikan bahwa empati bisa berevolusi menjadi aksi strategis yang mencengangkan. Tidak berhenti pada kesuksesan gagasan “distribusi cabai” yang menyelamatkan napas ekonomi petani dari kebangkrutan pasca-banjir, kini ia bergerak ke fondasi peradaban yang paling elementer: cahaya. Berkolaborasi dengan Kitabisa dan Warga Jaga Bumi, Ferry tidak sekadar mengirim bantuan, tapi sedang membangun infrastruktur energi darurat.

Mereka tengah merakit sistem panel surya off-grid berkapasitas 3300 WP. Ini bukan teori di atas kertas proposal, melainkan rangkaian teknologi nyata yang dirakit dengan tangan sendiri. Dengan kemampuan satu kali pengisian daya untuk menopang listrik selama 2–3 hari, dampaknya akan sangat konkret: menghidupkan kembali posko pengungsian, puskesmas, dan sekolah darurat yang selama ini lumpuh dalam kegelapan.

​Namun, di sisi lain, hati Bu Guru remuk redam membaca laporan terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hingga Minggu (21/12/2025), banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah merenggut 1.090 jiwa. Bayangkan, Nak, seribu lebih nyawa saudara kita hilang begitu saja. Sebanyak 186 jiwa masih dalam pencarian, dan 7.000 jiwa lainnya terluka. Belum lagi kerusakan fisik yang membuat kita mengelus dada: 434 rumah ibadah tempat kita bersujud hancur, dan 219 fasilitas kesehatan tempat kita berharap sembuh pun rusak parah.

​Melihat dua kenyataan di atas—aksi heroik relawan di satu sisi dan data kehancuran yang masif di sisi lain—apakah kita tidak merasa tertampar? Tertampar bukan untuk marah membabi buta, tapi untuk sadar.
​Ferry Irwandi dan kawan-kawan telah memberikan kita “kuliah lapangan” gratis tentang bagaimana menjadi warga negara yang solutif. Ketika logistik macet, mereka membuat “Jembatan Udara Cabai”; pesawat datang membawa bantuan, pulang membawa hasil panen petani agar ekonomi desa tidak mati [2].

Ketika listrik negara padam dan genset sulit bahan bakar, infrastruktur PLN hancur dan sedang diupayakan percepatan pemulihannya, mereka tidak mengeluh menunggu, tapi merakit Matahari (Panel Surya 3300 WP) untuk menerangi Puskesmas. Jika ini berhasil, ini adalah tamparan kasih sayang bagi kita semua: bahwa ilmu pengetahuan (sains) dan empati jika disatukan bisa membantu meringankan beban dan penderitaan masyarakat terdampak

​Bu Guru juga ingin mengajak kita berpikir lebih jauh. Selain listrik dan pangan, kita bisa meniru solusi cerdas untuk air bersih. Riset menunjukkan kita tidak perlu mengirim ribuan botol plastik yang akan jadi sampah. Kita bisa menggunakan teknologi Filtrasi Portabel atau Reverse Osmosis mobile seperti inovasi kampus-kampus kita. Kirim alatnya, saring air banjirnya, dan warga bisa minum air sehat tanpa menghasilkan gunung sampah plastik baru.

​Namun, Sahabat, Bu Guru paham. Ada kalanya logika kita sebagai rakyat berbenturan dengan kebijakan pemerintah. Ada rasa gemas ketika penanganan terasa lambat di tengah angka korban yang terus naik.

​Di sinilah kita belajar adab menyampaikan kritik dari para tokoh bangsa. Lihatlah Ibu Connie Rahakundini Bakrie. Dengan elegan namun tajam, beliau menulis surat terbuka kepada Bapak Presiden. Beliau mengingatkan bahwa “Rakyat sedang kehilangan hak paling dasar: hak untuk hidup,” dan meminta negara hadir tanpa alasan birokratis. Atau lihatlah Pak Anies Baswedan, yang dengan gigih menyuarakan agar status bencana ini diangkat menjadi Bencana Nasional. Beliau berkeliling, melihat langsung mata para ibu yang kehilangan rumah, dan menyimpulkan bahwa skala kehancuran ini butuh tangan penuh negara, bukan sekadar penanganan daerah.

​Lalu, bagaimana jika suara-suara bijak tokoh seperti Bu Connie dan Pak Anies belum didengar? Bagaimana jika status bencana tak kunjung berubah dan bantuan masih tersendat? ​Apakah kita harus putus asa? Tentu kita sepakat jawabannya Tidak.

Di sinilah letak kekuatan tertinggi kita sebagai rakyat yang ber-Tuhan. Jika semua pintu birokrasi tertutup, ketuklah Pintu Langit. Perbanyaklah doa. Hanya doa yang mampu menembus tembok istana yang paling tebal sekalipun. Hanya doa yang berkuasa membolak-balikkan hati penguasa agar lebih peka pada tangis rakyatnya. Agar pejabat negara dijaga dari blunder parah pernyataan pernyataan dan lisan yang memicu amarah. Jika belum bisa menyembuhkan, jangan memperparah luka.

Kita berdoa agar prediksi menyeramkan tentang “Indonesia Bubar 2030” itu tidak pernah terjadi. Kita berdoa agar para pemimpin kita diberi hidayah untuk melihat bahwa di balik angka statistik 1.090 korban jiwa itu, ada nyawa manusia yang dicintai keluarganya.

Postingan Bu Guru kemarin memesankan hal ini, dan reaksinya hampir 40 % tetap tidak menerima. Logika mereka sederhana, ini negara, bukan dengan bantuan kekuatan doa untuk mengubah keadaan pasca bencana.

OK, Bu Guru tak membantah, namun bantu fikir solusinya seperti yang dilakukan Fery, influencer lain seperti Vilmey dan konten kreator ahli masak (bu guru lihat sekilas, mereka nemasak langsung di tempat bencana, dalam keadaan lampu mati, menggunakan genset), dan influencer lain yang tak terdeteksi diradar bu guru, karna tidak begitu sering scroll medsos. Bantu solusi solusi cerdas mu , ide ide brilyan mu, donasi donasi keren mu. Ayo.. kita bergerak bersama. Indonesia bisa, kita kuat dan tangguh.

​Maka, sebagai penutup, Izinkan Bu Guru mengutip sebuah ayat dalam Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
​Dan ingatlah janji-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”

​Renungkanlah dalam-dalam, Sahabat. Ayat-ayat ini bukan sekadar dalil untuk dibaca, melainkan Manifesto Kemandirian yang mengguncang jiwa. ​Ayat ini mengajarkan kita makna mandiri yang sesungguhnya: Berhenti Menunggu, Mulai Bergerak.

​Tuhan menegaskan bahwa “tangan di atas”—tangan yang berusaha mengubah nasibnya sendiri—adalah tangan yang akan diberkahi perubahan. Jika Jakarta terasa jauh, ingatlah bahwa Tuhan itu dekat. Jika birokrasi macet, maka gotong royong warga se Indonesia harus berlari kencang. Kita dididik oleh ayat ini untuk menjadi bangsa yang resilien (tangguh), bangsa yang percaya bahwa di balik punggung yang memikul beban bencana berat ini, Tuhan telah menitipkan tulang punggung yang kuat. Kitalah nahkoda nasib kita sendiri.

​Mari kita “ubah keadaan” ini mulai dari diri sendiri. Pemerintah dengan kekuatan dan kekuasaannya, Ferry dengan gerakan cabai dan panel suryanya, Bu Connie dengan surat terbukanya, Pak Anies dengan advokasinya, Bu Guru dengan tulisan pembuka logika fikir, dan kita… dengan doa serta aksi nyata sekecil apapun. Semoga cahaya yang coba dirakit Ferry di Sumatera menjadi pertanda terbitnya matahari harapan baru bagi Indonesia yang lebih tangguh.

Salam cinta tanah air,
Bu Guru 💕

*sumber: fb

Komentar