Seorang aktivis muda yang ikut dalam aksi Hari Buruh (May Day) 2025 di depan Gedung DPR/MPR mengalami nasib nahas. Ia mengaku diculik dan disiksa oleh sejumlah orang tak dikenal yang diduga aparat, hanya beberapa bulan setelah peringatan Hari Buruh itu berlangsung.
Dua lembar kertas bergaris menjadi saksi bisu penderitaannya. Di atas kertas pertama tergambar sebatang rokok menyala dengan asap tipis di ujungnya, disertai tulisan: “Ia berteriak minta tolong…”. Sementara di kertas kedua, tampak sketsa wajah seseorang dengan pipi penuh luka, dihiasi kalimat: “Langitnya suram, lukanya kian dalam.”
Kedua gambar itu merupakan karya sang korban, yang berusaha menuangkan trauma dan rasa sakit akibat penyiksaan yang dialaminya pada dini hari, Rabu, 30 Juli 2025.
Lewat pesan teks kepada KBR, korban menuturkan makna di balik gambarnya.
“Aku berteriak sekuat tenaga meminta tolong, tapi rokok itu justru semakin dekat hingga membakar kulit tipis di wajahku,” tulisnya.
“Aku menatap langit malam yang tak lagi hitam, melainkan abu-abu suram, seperti luka di wajahku yang kian perih dan dalam.”
Detik-detik Penculikan
Kisah ini pertama kali terungkap melalui Teguh Aprianto, rekan korban sekaligus sesama aktivis May Day 2025. Menurutnya, peristiwa itu terjadi saat korban tengah mengendarai motor menuju tempat kosnya di kawasan Depok, Jawa Barat.
Tiba-tiba, sebuah mobil Xenia hitam memepet motornya. Empat pria bertubuh besar turun dari mobil, langsung menarik korban paksa, memborgol kakinya, dan memukulinya sebelum diseret masuk ke mobil.
“Begitu ditarik, dia langsung diborgol dan dipukul. Dalam mobil, ia disekap sekitar 40 menit,” ungkap Teguh di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Korban dipaksa duduk di kursi tengah, diapit dua orang bertopeng. Sementara seorang lainnya terus menanyai korban soal siapa saja yang terlibat dalam aksi May Day, sambil memperlihatkan foto-foto sejumlah aktivis.
“Kalau jawabannya tidak memuaskan, dia langsung dipukul dan disundut rokok di pipinya. Itu terjadi berkali-kali,” ujar Teguh.
Hingga kemudian, ponsel salah satu pelaku berdering. Dari percakapan singkat, terdengar pelaku menyebut seseorang dengan panggilan “Ndan”. Setelah berbicara, pelaku kembali ke mobil dan mengatakan, “Bukan orangnya, Ndan. Siap, Ndan, arahan diterima.” Tak lama kemudian, korban dilepaskan begitu saja.
Pendampingan Hukum dan Pola Kekerasan Lama
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) kini mendampingi korban. Salah satu pengacara TAUD, Yahya, menyebut bentuk penculikan seperti ini masih sering terjadi meski sudah dua dekade era Reformasi berjalan. Bedanya, kini durasinya lebih singkat.
“Kami menyebutnya short-term disappearance, yakni penghilangan paksa jangka pendek. Korban diculik selama beberapa jam, lalu dilepaskan,” jelas Yahya dalam program Ruang Publik KBR (7/8/2025).
Teror Berlanjut Setelah Lapor Polisi
Kasus ini bukan ancaman pertama bagi korban. Sebelumnya, ia sudah dikuntit oleh orang tak dikenal dan bahkan dikirimi bangkai tikus di motornya.
TAUD mencatat sedikitnya 17 bentuk intimidasi dialami para aktivis May Day 2025 selama Juni–Juli.
Teror itu bermula setelah TAUD melaporkan dugaan kekerasan aparat ke Mabes Polri pada pertengahan Juni 2025. Namun, laporan tersebut justru dilimpahkan kembali ke Polda Metro Jaya—institusi yang mereka laporkan.
“Kami sengaja lapor ke Mabes agar lebih objektif, tapi malah dikembalikan ke Polda Metro. Jadi, pihak yang kami laporkan justru menangani laporan kami,” kata Teguh kesal.
Mala Silviani, pengacara publik LBH Jakarta, menilai pelimpahan ini merupakan bentuk undue delay yang memperkuat budaya impunitas di tubuh kepolisian.
Berdasarkan data KontraS, sepanjang Juli 2024–Juli 2025 terjadi 602 kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Sebagian besar berupa pemukulan dan penembakan.
Kriminalisasi Aktivis
Selain mengalami teror, sejumlah peserta aksi May Day juga dijerat hukum. Sedikitnya 14 orang, termasuk Teguh, kini berstatus tersangka dengan tuduhan tidak mematuhi perintah polisi.
Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid, menyebut pihaknya sudah meminta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta agar tidak menerbitkan P21 terhadap kasus tersebut. Komnas HAM juga telah menemui Irwasda Polda Metro Jaya untuk memeriksa dugaan pelanggaran prosedur penangkapan.
“Beberapa temuan menunjukkan penangkapan itu tak didukung bukti yang kuat. Bahkan, paramedis dan paralegal ikut dituduh,” jelas Pramono.
“Kalau fungsi intelijen bekerja sebagaimana mestinya, penangkapan acak seperti ini seharusnya tidak terjadi.”
Demokrasi yang Makin Menyempit
Pramono mengingatkan bahwa kasus ini adalah tanda nyata penyusutan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Ia menekankan pentingnya peran lembaga negara dan masyarakat sipil untuk terus bersuara.
Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, juga mengakui kondisi demokrasi Indonesia tengah menurun. Namun, ia menilai lembaga seperti Komnas HAM dan LPSK perlu lebih maksimal mengawal hak-hak warga.
“Lembaga-lembaga ini semestinya menjadi perpanjangan tangan DPR dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Sudah seharusnya mereka bekerja lebih all out,” ujar Nasir.
Menurut laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia tahun 2024 turun ke posisi 59 dunia, dengan skor 6,44—masuk kategori flawed democracy atau demokrasi cacat.







Komentar