Di tengah polemik soal utang dan membengkaknya biaya proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), Presiden Joko Widodo menyebut proyek itu sebagai “investasi sosial”—bukan beban negara. Menurutnya, kereta cepat memberi manfaat luas bagi masyarakat. Namun, apakah klaim tersebut benar?
Inovasi Sosial Tak Diukur dari Megahnya Proyek
Menurut teori inovasi sosial (Geoff Mulgan, 2007; Nicholls & Murdock, 2012), suatu proyek disebut “inovasi sosial” bukan karena besar dan modern, tapi karena mampu memperkuat partisipasi publik dan mewujudkan keadilan sosial.
Kereta cepat Whoosh justru bertolak belakang dengan prinsip itu. Ia dibangun secara top-down, tanpa pelibatan masyarakat, dan manfaatnya hanya dinikmati segelintir orang.
Masalah utama transportasi di Jakarta dan Bandung bukan pada kecepatan antarkota, melainkan ketimpangan akses di dalam kota. Inovasi sosial seharusnya menghubungkan transportasi, perumahan, dan pekerjaan agar mobilitas sosial lebih merata. Sayangnya, Whoosh hanya jadi simbol kemajuan teknologi, bukan solusi pemerataan.
Minim Partisipasi dan Transparansi
Seluruh keputusan proyek Whoosh diambil oleh pemerintah pusat, BUMN, dan investor China—tanpa melibatkan masyarakat sekitar maupun pemerintah daerah.
Padahal, menurut teori open innovation for social impact (Henry Chesbrough, 2020), nilai sosial baru tercipta jika masyarakat ikut terlibat sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Tanpa partisipasi publik, yang muncul hanyalah proyek elitis dengan manfaat terbatas.
Klaim Manfaat Sosial Lemah
Presiden Jokowi menyebut Whoosh membantu menurunkan emisi dan menghemat waktu. Namun, secara ilmiah, klaim ini lemah.
Penelitian Zhao dkk. (2022) terhadap proyek serupa di China menunjukkan bahwa pengurangan emisi baru terasa setelah 40 tahun operasi, sementara beban lingkungan dan fiskal muncul sejak tahun pertama karena penggunaan beton, baja, dan lahan luas.
Selain itu, dari sisi ekonomi, kinerja Whoosh belum memuaskan. Sejak beroperasi Oktober 2023 hingga Februari 2025, jumlah penumpangnya baru sekitar 8 juta, jauh di bawah target 50–76 ribu penumpang per hari.
Harga tiket Rp150.000–Rp600.000 juga belum terjangkau masyarakat umum. Dengan biaya proyek mencapai Rp110 triliun, manfaat sosialnya tampak tidak sebanding.
Salah Kaprah Soal “Investasi Sosial”
Dalam teori social investment (Morel, Palier & Palme, 2012), investasi sosial berfokus pada pemberdayaan manusia—seperti pendidikan, kesehatan, dan pelatihan kerja—bukan pada infrastruktur fisik. OECD juga menegaskan bahwa investasi sosial harus bersifat inklusif, berkelanjutan, dan membantu kelompok rentan.
Whoosh gagal memenuhi ketiganya. Ia tidak memperluas akses masyarakat miskin, tidak mengurangi kesenjangan wilayah, malah menambah beban utang lintas generasi.
Ketika kerugian negara dibungkus dengan alasan moral, hal itu menciptakan apa yang disebut state loss under moral disguise—kerugian publik yang disamarkan dengan narasi kebaikan. Dalam konteks ini, Whoosh bukan “investasi sosial”, melainkan monumen politik yang menampilkan kemajuan, tanpa menghadirkan keadilan.
Kesimpulan
Jika diuji lewat dua perspektif—inovasi sosial dan investasi sosial—Whoosh gagal di keduanya. Ia tak menghadirkan kebaruan sosial, tak melibatkan publik, tak memperkuat kapasitas manusia, dan tak berkelanjutan secara fiskal.
Yang tersisa hanyalah proyek mahal dengan narasi sosial yang terdengar indah, tapi kosong makna.
Kemajuan sejati seharusnya tidak diukur dari seberapa cepat kereta tiba di Bandung, melainkan dari seberapa adil semua warga bisa ikut bergerak maju bersama—dari yang kuat hingga yang tertinggal.







Komentar