“Tidak ada kewenangan mereka mengatur saya untuk tunjukkan ijazah asli”

✍🏻Balqis Humaira

Ada satu hal yang bikin gue geleng-geleng tiap kali liat statement model begini: “Tidak ada kewenangan mereka mengatur saya untuk tunjukkan ijazah asli.”
Kalimatnya kalem, nadanya diplomatis. Tapi vibe politiknya? Udah kayak orang lagi ditanyain hal simpel tapi jawabnya muter-muter seakan-akan rakyat ini gak punya hak untuk nanya apa-apa.

Dan ini bukan soal benci, bukan soal fanbase, bukan soal oposisi. Ini soal standar minimum pejabat publik di negara yang katanya demokrasi. Karena di dunia politik, gesture kecil itu bisa ngomong lebih lantang daripada seribu konferensi pers.

Logikanya gini: pejabat publik itu kayak orang yang ngelamar kerja, tapi perusahaan tempat dia kerja adalah… negara. Bosnya? Rakyat. Dan kalau rakyat nanya “Bang, ijazahnya mana?”, itu bukan penghinaan. Itu bagian dari kontrak sosial. Itu hal paling dasar dari transparansi.

Makanya ketika ada penolakan, vibe-nya langsung kerasa “lho kok gitu?”. Bukannya otomatis salah, tapi aneh. Kayak lo dateng ke warung, minta nota, terus penjualnya bilang, “Gak ada kewenangan Anda minta nota.”
Ya siapa yang gak curiga?

Terus ada yang bilang: “Ah, itu cuma politik. Itu cuma manuver. Itu cuma framing oposisi.”
Ya udah jelas lah politik. Tapi hal-hal sederhana kayak gini justru tempat di mana karakter seorang pemimpin paling keliatan: apakah dia tipe yang mau ngejawab dengan lugas, atau tipe yang kalau ditanya hal basic langsung defensif.

Kewajaran?
Di negara normal, pejabat nunjukin ijazah itu kayak orang nyalain lampu ruang tamu. Sederhana. Gak pake drama. Bahkan banyak presiden di negara lain ngasih akses ke rapor, thesis, data sekolah mereka. Bukan karena wajib, tapi karena itu gestur respect ke publik.

Kejanggalan?
Ya jelas. Bukan janggal karena “wah berarti ada yang disembunyiin.” Bukan. Tapi janggal karena sikapnya overreact terhadap hal yang seharusnya sepele.
Kalau memang gak ada masalah, apa susahnya?
Kalau memang clear, kenapa gak diberesin dari dulu?
Kalau memang yakin publik percaya, apa salahnya bikin publik lebih yakin?

Kadang “penolakan” itu bukan masalah isi, tapi cara ngomongnya. Nada. Gesturenya.

(fb)

Komentar