Kereta Cepat Whoosh mungkin lahir dengan gegap gempita. Ia disebut sebagai simbol kemajuan, lompatan teknologi, tanda bahwa Indonesia memasuki era transportasi berkecepatan tinggi. Namun gegap itu pelan-pelan meredup. Stasiun megah berdiri, rel membentang lurus tanpa hambatan, gerbong mengilap menunggu penumpang. Yang tak kunjung banyak datang justru mereka yang hendak naik.
KCIC merespons situasi dengan strategi yang lebih membumi, yaitu potongan harga 50 persen. Secara resmi program ini dikemas dalam nama Whoosh Edutrip. Di atas kertas terlihat visioner. Siswa diajak belajar langsung mengenai teknologi kereta cepat, sistem keselamatan, dan merasakan perjalanan sebagai pengalaman belajar. Narasi formalnya rapi dan terstruktur. Namun bagi pembaca pasar transportasi yang lebih kritis, potongan harga sering terbaca sebagai tanda bahwa ada kursi kosong yang harus segera terisi.
Hingga November 2025, sekitar 60 sekolah dengan lebih dari 5.000 pelajar sudah mengikuti program ini. Angka yang tampak impresif di rilis pers, tetapi juga mengungkap kenyataan halus bahwa okupansi harian belum berada di titik ideal. Kereta yang seharusnya menjadi moda pilihan pekerja dan komuter, kini lebih banyak berpindah fungsi menjadi wahana edukasi rombongan sekolah.
Di luar siaran resmi, berbagai laporan menyebut bahwa Whoosh pernah melaju dengan gerbong nyaris kosong. Foto penumpang yang hanya beberapa orang beredar di media sosial, dikutip oleh sejumlah portal berita. Bahkan pernah disebutkan hanya tiga penumpang terlihat dalam satu rangkaian. Kontras dengan klaim minat tinggi dan kapasitas besar yang sejak awal digadang-gadang.
Kritik juga diarahkan pada lokasi stasiun yang dianggap kurang strategis dari pusat kota. Harga tiket yang belum sepadan dengan akses pendukung membuat sebagian masyarakat memilih moda lain. Sejak awal feasibility study proyek ini dipenuhi optimisme. Mirip ramalan cuaca yang berharap hujan tak turun padahal awan sudah gelap.
Biaya pembangunan yang mencapai triliunan rupiah memberi tekanan berat pada proyek ini. Analis transportasi mempertanyakan kelayakan jangka panjang. Ekonom memperingatkan potensi kerugian dan beban finansial jika okupansi tidak membaik. Dalam konteks ini potongan harga tidak lagi sekadar promosi, melainkan bagian dari strategi bertahan hidup.
Program Edutrip tentu memberi manfaat pendidikan. Siswa mendapat pemahaman langsung mengenai teknologi, melihat fasilitas modern, hingga merasakan perjalanan yang selama ini hanya mereka dengar di berita. Namun ada ironi yang sama jelasnya. Moda transportasi yang diharapkan menjadi tulang punggung mobilitas urban kini justru mencari penumpang di sekolah, bukan di stasiun.
Pertanyaan yang paling tajam justru yang paling sederhana. Jika Whoosh sudah benar-benar diminati publik, apakah potongan harga setengah harga perlu digelar sebesar ini?
Diskon bukan tanda kegagalan, tetapi dalam banyak kasus menjadi sinyal bahwa pasar tidak tumbuh secepat yang diharapkan. Bahwa proyeksi penumpang di tahap awal mungkin lebih didorong oleh harapan daripada kenyataan. Bahwa proyek raksasa tidak otomatis menghasilkan antrean panjang di loket.
Hari ini Whoosh menjual edukasi. Besok mungkin menjual paket wisata. Lusa bisa jadi konsep baru kembali dicari. Kereta cepat ini tampak masih mencari peran dan identitasnya. Apakah ia ikon kemajuan, atau sekadar karya ambisi besar yang kini butuh strategi potongan harga untuk sekadar terlihat dibutuhkan.
Waktu yang akan menentukan arah lajunya. Namun satu hal sudah dapat dilihat sejak sekarang. Jika masa depan transportasi harus dipasarkan dengan potongan harga setengah dari tarif normal, maka masa kini tampaknya belum cukup ramah untuk moda bernama Whoosh.







Komentar