Sirna Sudah Perlindungan HAM oleh Natalius Pigai

Di tengah kontroversi penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, publik menunggu satu suara moral: Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai. Namun yang muncul justru jawaban singkat, “No komen.” Sebuah dua kata yang menandai betapa sunyinya suara pemerintah terhadap luka sejarah bangsa sendiri.

Padahal, rekam jejak pelanggaran HAM pada era Orde Baru bukan sekadar tuduhan kosong. Dari pembantaian massal 1965–1966, penembakan misterius (Petrus) di awal 1980-an, penculikan aktivis 1998, hingga kekerasan sistematis di Timor Timur, Papua, dan Aceh, seluruhnya telah didokumentasikan oleh lembaga-lembaga resmi, termasuk Komnas HAM dan PBB. Namun, hingga kini, tak satu pun kasus itu menemukan titik keadilan.

Soeharto bukan hanya pemimpin militer yang berkuasa 32 tahun, tetapi juga simbol represi terhadap demokrasi dan kebebasan sipil. Ratusan ribu nyawa melayang, ribuan orang hilang tanpa jejak, dan kebebasan pers dibungkam melalui izin terbit yang bisa dicabut kapan saja. Media seperti Tempo, Editor, dan Detik pernah dibredel karena memberitakan penyimpangan penguasa.

Kini, lewat Keputusan Presiden Nomor 116/TK/Tahun 2025, nama Soeharto kembali diangkat—bukan untuk diadili, melainkan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemerintah berdalih penghargaan itu menimbang jasa pembangunan ekonomi dan stabilitas negara. Tapi publik menilai keputusan itu justru menistakan ingatan para korban dan keluarga yang tak pernah mendapat keadilan.

Di sinilah peran Menteri HAM seharusnya berbicara. Tidak untuk menghakimi keputusan presiden, melainkan menjaga martabat kemanusiaan di atas segala pertimbangan politik. Ketika Pigai—yang selama ini dikenal vokal terhadap isu kemanusiaan—memilih diam, maka diam itu sendiri menjadi pesan: negara tak lagi berdiri di sisi korban.

Kata “No komen” memang tampak netral. Namun dalam konteks sejarah kelam bangsa, ia berubah menjadi simbol penyangkalan. Seakan negara ingin menutup luka masa lalu dengan upacara penghormatan, bukan penyelidikan.

Jika pemerintah terus menormalisasi pelanggaran HAM masa lalu atas nama jasa pembangunan, maka penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan akan kehilangan makna. Dan jika pejabat yang dipercaya melindungi HAM ikut bungkam, maka benar adanya: sirna sudah perlindungan HAM itu sendiri.

Komentar