Sirkus Pelatihan Guru: Tak merubah apapun kecuali menghabiskan Anggaran

INILAH ALASAN MENGAPA MUTU GURU TAK KUNJUNG MENINGKAT, PADAHAL PELATIHAN SERING DIADAKAN

By Diana*

Khusus untuk pembaca yang mau membaca sampai selesai.

Izinkan saya mengungkap satu lagi fenomena yang dirahasiakan, namun bersemayam abadi dalam dunia pendidikan kita, yaitu : Sirkus Pelatihan Guru.

Sebuah pertunjukan rutin yang seolah menjadi ritual tahunan, atau bulanan, yang semangatnya membara di awal, tapi hasilnya?
Ah, sudahlah.

Konon katanya, pelatihan adalah untuk meningkatkan mutu guru. makin sering dilatih, makin kinclong kualitasnya guru.

Namun, di lapangan, rumusnya kok berubah menjadi: “Makin sering dilatih, makin bingung kita jadinya”

Di beberapa pelosok negeri (harap dicatat : tidak semua daerah! Tapi, banyak daerah 😁) sebut saja Negeri-negeri Dongeng Pendidikan, skema pelatihan ini mirip sebuah “reuni keluarga yang eksklusif”. Peserta yang hadir adalah para Superstar lokal, yang wajahnya sudah hafal sekali dengan aroma karpet hotel atau ballroom ber-AC dingin.

Tapi, Mereka terpilih menjadi peserta bukan karena track record mutu yang fantastis atau inovasi mengajar yang meledak-ledak, melainkan karena… ehm, kedekatan emosional dengan ‘Panitia Pesta’ atau ‘Sang Pemegang Palu Kebijakan’.

Intinya begini: jika Anda rajin menyapa, sering minum kopi bareng, atau punya chemistry yang kuat dengan si penyelenggara, tiket pelatihan seolah sudah dibayar lunas. Ini bukan lagi soal kompetensi, tapi soal komunikasi (baca: relasi). Mutu mengajar Anda boleh saja setara kompor sumbu pendek, tapi kalau relasi Anda setebal kamus, Anda sah menjadi duta ilmu di setiap workshop dan seminar.

Lalu, apa dampaknya?

Nah ini yang perlu dibaca baik-baik.

Setelah serangkaian acara pelatihan tadi, para Superstar ini pun ‘lulus’ dengan sertifikat mengilap dan segera didapuk menjadi Narasumber Pengimbas. Dan Di sinilah letak komedi gelapnya.

Mereka kembali ke sekolah atau gugus masing-masing, membawa ‘oleh-oleh’ ilmu yang didapat.
Menjadi pemateri yang diagungkan.

Sayangnya, karena jalur perekrutan tidak berdasarkan kualitas, dan Sang superstar di pelatihan itu lebih fokus foto-foto untuk postingan FB, dan mencari tempat colokan untuk laptop, maka materi yang mereka imbaskan seringkali SALAH KONSEP sejak di hulu.

Penyampaian materi jadi seperti ramah tamah. Konsep kurikulum yang canggih disederhanakan hingga jadi jargon tanpa makna. Metode pembelajaran inovatif diubah menjadi gimmick yang malah merepotkan. Filosofi pendidikan yang mendalam dipotong-potong menjadi slide PowerPoint penuh gambar clipart konyol. Aplikasi modul ajar ditawarkan seperti jual obat. Dan agar waktu penyampaian materi cepat selesai supaya tidak banyak peserta bertanya, mereka memperbanyak ice breaking joget-joget.

Sementara itu Di kursi peserta pengimbasan itu, Guru-guru yang tulus berharap mendapat pencerahan hanya bisa mengangguk pasrah sambil ngemil snack dan air mineral gelas.
Kemudian Mereka pulang dengan kepala kosong atau penuh kebingungan baru. Karena materi yang disampaikan tidak nyambung, tidak sesuai konteks, tidak bisa dipahami, dan malah memperpanjang daftar masalah. Masalah yang dibawa oleh sang superstar.

Maka, wajar jika roda pelatihan terus berputar kencang, menghabiskan anggaran, menciptakan tumpukan sertifikat yang tinggi, sementara jarum mutu kompetensi guru berdiam diri, bahkan mungkin mundur perlahan.

Inti dari semua ini adalah, pelatihan memang penting, tapi jangan sampai ia hanya menjadi event organizer dadakan bagi segelintir orang. Jika kita ingin mutu guru naik, mari kita ganti resepnya:

“Pilih peserta berdasarkan hasil cek kesehatan kompetensi, bukan berdasarkan track record kedekatan emosional! Pastikan orang yang dipilih benar-benar mampu mengimbaskan materi, bukan yang mampu melakukan ice breaking!”

Jika tidak, Sirkus Pelatihan ini akan terus menjadi pertunjukan lucu yang menghibur para pelakunya, tapi sama sekali tidak meningkatkan kualitas penontonnya (yaitu, para siswa kita).

(sumber: fb)

Komentar