Cerita Pengungsi Aceh
✍🏻Risman Rachman
Seorang nenek di Bireuen, dengan suara lembut, meminta kepada bupatinya, jika mungkin, diberi Al Quran. Al Quran yang ada terjemahannya.
“Al Quran, Pak, yang na arti Pak. Sebab ka bulut (basah) maka jih loen lake,” kata si nenek. (Karena sudah basah makanya saya minta).
Allahu akbar.
Di lain tempat, seorang ibu sangat berharap diberi mukena/telekung dan sarung untuk shalat.
“Laen ndak apa, itu aja, selimut kalau ada.”
Di Bener Meriah, seorang ibu hanya mau lebih dulu akses jalan terbuka agar warga yang terisolir bisa dapat sembako ke titik terdekat.
“Jika orang tua masih bisa bertahan dengan makan apa adanya, tapi gimana dengan bayi,” ujarnya.
Tapi, seorang Ibu dari Pidie Jaya yang telah kehilangan segalanya karena bencana meluapkan curahan hatinya: “Tolong tangkap orang-orang yang memotong pohon dan menanam sawit, siapapun. Itu zalim!”
Seorang perempuan lebih muda yang sudah 5 hari berjalan menuju Aceh Tengah dari Langsa justru hanya meminta doa kepada seluruh rakyat Indonesia agar bisa bangkit lagi, “Kami masyarakat Aceh meminta doa kepada seluruh masyarakat agar kami bisa bangkit kembali. Ini bukan berarti kami minta dikasihani.”

(*)







Komentar