Sebuah Anomali Rekening Gendut di Tubuh POLRI

Fenomena rekening gendut di tubuh Polri belakangan membuat ukuran kesuksesan aparat seakan berubah arah. Dahulu, seorang polisi dianggap berhasil ketika mampu menjaga ketertiban, melindungi rakyat, dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Kini, definisi itu makin dipersempit: seberapa banyak angka nol di saldo rekening, jenis mobil mewah yang diparkir di garasi, hingga perhiasan mencolok yang dipakai keluarga.

Kultur semacam ini terlihat jelas dalam cerita-cerita reuni antarangkatan. Bukan lagi prestasi pengabdian yang dihitung, melainkan siapa yang bisa “flexing” Rubicon atau menunjukkan saldo fantastis. Ukuran kesuksesan yang bergeser ke arah pamer harta perlahan menjadi kebanggaan. Sayangnya, kebanggaan itu berdiri di atas fondasi rapuh, karena di sisi lain masyarakat masih berhadapan dengan praktik pungli, pemerasan, hingga rasa ketidakadilan hukum.

Ada bahasan menarik yang disampaikan Prof. Mahfud MD

Ketika aparat lebih sibuk mengukur gengsi dari isi rekening ketimbang dari integritas, yang hancur bukan sekadar citra Polri. Lebih jauh, kepercayaan publik ikut runtuh. Dan tanpa kepercayaan, kewibawaan hukum hanya tinggal jargon kosong.

Perubahan kultur jelas bukan sekadar pilihan tambahan, melainkan sebuah keharusan. Pertanyaannya, langkah apa yang paling realistis untuk mengembalikan ukuran “sukses” polisi kepada integritas, bukan harta? Transparansi aset bisa jadi pintu masuk, diperkuat dengan sistem pengawasan internal dan eksternal yang benar-benar independen. Selain itu, penghargaan institusional harus bergeser: bukan pada siapa yang kaya raya, tetapi pada siapa yang benar-benar bersih dan memberi dampak nyata bagi masyarakat.

Integritas sejatinya adalah modal utama seorang aparat. Jika ukuran sukses kembali ditambatkan ke sana, maka kepercayaan publik pelan-pelan bisa pulih. Dan tanpa integritas, berapa pun banyaknya Rubicon, saldo, atau emas berlian, semuanya hanyalah kemewahan semu.

Komentar