Sabotase MBG

Sabotase

Oleh: Made Supriatma

Para elit mulai menginsinuasi (tuduhan tapi tidak secara langsung) bahwa keracunan MBG adalah karena ada sabotase. Mereka memang tidak menuduh secara langsung. Tapi idenya diajukan sehingga orang diharapkan orang percaya ada gerombolan yang mau mensabotase program mulia pemerintah ini.

Namun benarkah demikian? Ini seperti ‘tidak pandai menari, lantai yang dituduh berjungkit.’ Namun insinuasi sabotase ini sebenarnya ingin mengalihkan tanggungjawab kepada sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan. Sama seperti pada bulan-bulan September seperti ini para penguasa negara ini membangun narasi ‘komunis’ sebagai biang penyakit negara ini.

Dengan cara demikian, para elit ini menghindar dari tanggungjawab atas kebijakannya sendiri. Kegagalan adalah karena sabotase pihak lain. Kebijakan Makan Bergizi Gratis ini adalah mulai, bagus, dan berjalan dengan baik.

Selain menginsinuasi, sebagian elit juga meremehkan kasus makan beracun ini. Kepala BGN mengatakan secara angka anak yang keracunan sangat kecil ketimbang jumlah makanan yang disajikan. Untuk dia, dari satu milyar porsi yang disajikan yang beracun hanya sekitar 7 ribu saja (angka terakhir) itu rasionya sangat kecil.

Betul itu kecil. Tapi apakah ini bisa diukur secara statistik belaka? Bukankah ada resiko nyawa anak-anak didalamnya?

MBG ini adalah proyek besar. Sangat besar. Selain besar juga sangat egoisentris. Maksud saya, Prabowo membuat program ini tanpa mau melibatkan apa yang sudah ada. Dia mau jalan sendiri dengan orang-orang yang loyal dan bisa dia kontrol.

Sehingga tidak heran bahwa orang-orang partainya dan purnawirawan militer ada disana. Bahkan ada bekas anggota Tim Mawar juga duduk di BGN dan duduk sebagai deputi pengawasan dan pemantauan. Bukankah ini adalah kedeputian yang paling bertanggungjawab untuk mencegah keracunan?

Program ini tidak melibatkan sekolah. Tidak melibatkan para guru. Tidak melibatkan orangtua murid. Tidak melibatkan pemerintahan di daerah-daerah dengan segala tingkatannya. Padahal orang-orang ini yang sudah bekerja bertahun-tahun di wilayahnya dan tahu persis masyarakatnya.

Saya tidak tahu apa pertimbangan untuk mengesampingkan para stake-holder (ya, stake-holder!) yang paling berkepentingan terhadap program ini. Apakah takut di korupsi? Weh, coba kita lihat siapa pengelola SPPG itu? Siapa dibalik yayasan-yayasan itu? Apakah pengelolaan SPPG itu motifnya hanya nasionalisme yang membuncah dan bukan keuntungan?

Di bawah pemerintahan ini semua serba terpusat, terkomando, dan terkonsentrasi. Kalau kita belajar dari Orde Baru, justru gaya memerintah seperti ini akan menghasilkan kroni-kroni. Dari kroniisme akan lahir kolusi. Dan dari kolusi akan lahir korupsi. Semua ini akan menciptakan rantai ekonomi rente — ekonomi yang hanya berputar di kalangan para kroni (anggota DPR, pengurus partai, militer, polisi, agamawan, akademisi, yang mau menjadi kaki tangan rejim). Tidak ada manfaatnya untuk masyarakat lokal!

Bisa kita bayangkan program yang akan menghabiskan dana Rp 1,2 trilyun per hari ini akan berputar di kalangan para kroni saja. Supplier-supplier akan memberikan upeti-upeti. Bisa Anda bayangkan kalau mendapat 10% saja dari 1 milyar kotak susu? Itu akan disalurkan hanya pada pintu-pintu yang terbatas. Bila MBG di kelola sekolah dan orangtua murid, para supplier ini harus berhadapan dengan jutaan pintu.

Tidak efisien? Iya. Tapi juga mencegah kemungkinan korup. Jika ada keracunan pun, yang bertanggungjawab adalah orangtua dan sekolah. Tidak seperti sekarang. Kalau murid-murid keracunan, sekolah yang kelabakan.

Yang juga susah dimengerti, mengapa semua anak harus makan makanan dari BGN? Saya sering sekali mendengar cerita orang tua murid yang sekarang membekali anaknya dengan tas plastik. Untuk apa? Untuk menyimpan MBG yang tidak dimakan karena tidak enak dan takut keracunan. Pernahkah dihitung berapa makanan terbuang dari MBG?

MBG akan menjadi ekonomi dalam skala raksasa. Karena itu tidak masuk akal kalau dilakukan dalam pola sekarang ini. Tidak bisa tidak, ia harus terdesentraliasasi. Ia harus dibikinkan pilot projectnya. Ia harus dimulai dengan pembuatan makanan berbasis komunitas — melibatkan orangtua murid, perwakilan guru, sekolah, dan masyarakat sekitar.

Apakah pemerintah ini akan kesana? Saya ragu. Lebih mudah mengerahkan militer untuk membuat dapur dan mengelolanya. Tidak enak, tidak masalah. Keracunan makanan? Itu kecil. Tidak suka dan dibuang sebagai sampah? Terserah. Yang penting sudah dibuat.

MBG adalah program mahal yang hanya berguna untuk orang-orang yang mendukung kekuasaan. Bahkan sekarang anak-anak pun tidak mau menyantapnya. Tapi ada yang untung besar.

*Foto: Wakil Kepala BGN Nanik S Deyang menangis imbas ribuan siswa keracunan MBG di Gedung BGN, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025). (KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA)

Komentar