Apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini bisa dikatakan bahwa keberlanjutan ternyata tidak lebih baik daripada ketidakberlanjutan. Ketidakberlanjutan dalam beberapa hal bisa jadi justru lebih baik.
Keberlanjutan hanya baik pada beberapa saat setelah serah terima jabatan saja. Bahkan, sebelum itu lagi. Setelah itu benih-benih perpecahan mulai muncul di mana-mana.
Bahkan, apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini, sungguh mengerikan. Sudah ada yang berani menyamakan dengan Reformasi 98. Yakni, pergantian kekuasaan.
Ketidakberlanjutan lebih baik karena sejak awal hanya muncul satu orang presiden. Meski didukung banyak pemimpin atau parpol, tapi yang benar-benar pemimpin atau yang terkuat hanya satu, yakni presiden. Tak ada istilah matahari kembar.
Sementara kalau keberlanjutan tak hanya satu orang presiden yang muncul, tapi dua orang. Yakni presiden lama dan presiden baru. Apalagi ditambah presiden lama yang jelas-jelas menempatkan anaknya sebagai pendamping presiden baru.
Artinya, sejak awal ia menghendaki anaknya sebagai pengganti.

Belum apa-apa, anaknya sudah berlagak layaknya seorang Presiden. Apalagi sebagian dari pembantu presiden baru adalah pembantu presiden lama, yang notabene adalah bapaknya.
Meski tak disebutkan, tapi jelas sekali pendukungnya mengatakan presiden baru terpilih karena peran serta presiden lama dan anaknya. Presiden baru seperti dikunci untuk berbuat.
Hanya bisa mengangguk saja, sambil pelan-pelan terus memperbaiki keadaan dan membangun kekuatan baru. Tak mudah, apalagi presiden baru memang tak ingin konfrontasi. Merangkul semua lebih baik.
Sampai 10 bulan presiden baru memimpin belum terlihat pergantian yang signifikan. Kepemimpinan era lama masih berlangsung, meski pelan-pelan era baru juga mulai terasa.
Terasa, karena jalan yang dipilih memang terlihat berbeda. Pada saat yang bersamaan, loyalitas ganda juga mulai terasa. Masalah-masalah pada era lama mulai terbongkar.
Masalah laut, tambang, pulau, hutan, pendidikan, haji, tenaga kerja, dan entah apa lagi. Keberlanjutan memang sulit dilanjutkan kalau ingin ada perbaikan. Maka perbaikan haruslah ketidakberlanjutan.
Keberlanjutan kalau benar-benar keberlanjutan mungkin lebih baik. Tidak ada masalah. Tapi masalahnya kalau keberlanjutan itu memang tak bisa dilanjutkan karena keburukannya.
Kalau keburukannya hanya satu dua tak masalah, tapi kalau terlalu banyak, itulah masalahnya. Korupsi merajalela, penegakan hukum semaunya saja, dan lain-lain.
Diperparah pula dengan krisis ekonomi dunia. Proyek mercusuar harus diberhentikan. Keberlanjutan pelan-pelan jadi ketidakberlanjutan. Keberlanjutan jadi pecah kongsi karena yang berlaku ketidakberlanjutan.
Ada yang mengatakan Pilpres kemarin hanyalah perebutan formalitas kekuasaan. Perebutan kekuasaan yang substansial atau yang sebenarnya terjadi pada saat ini. Bahkan dimulai justru beberapa hari sebelum pelantikan, bukan beberapa saat usai pelantikan.
Kembali pepatah lama, tak ada makan siang gratis dalam politik, terbukti. Jabatan diberikan bukan secara cuma-cuma, tapi ada konsekuensinya.
Konsekuensinya apa pun akan dipenuhi sebelum dapat, tapi kalau sudah dapat cerita bisa sama sekali berbeda. Apalagi situasi memang jauh berbeda.
Ini justru keadaan yang lebih tak menentu, tak hanya sekadar transisi. Lebih sulit dan tak mudah diprediksi. Situasi luar dan dalam sama berbahayanya.
Faktor luar yang sering dikambinghitamkan tak lagi relevan, karena faktor dalam justru lebih relevan dan kasat mata. Padahal keduanya saling berkontribusi.
Tak ada pihak yang mau mengalah. Mengalah berarti kalah. Dan kalah tak pula sekadar kalah. Lebih di bawah lagi daripada situasi kalah itu sendiri.
Masayarakat bisa menjadi korban. Malah tak hanya masyarakat, tapi juga aparat. Dan ini sudah terjadi di hadapan mata saat ini.
Keberlanjutan kalau hanya memelihara kebobrokan buat apa? Lambat laun, akan runtuh dan terbongkar juga. Keberlanjutan mengalami kedaluwarsa atau pembusukan karena perubahan yang begitu cepat dan tidak terduga.
Keberlanjutan sesuatu yang baik dan positif akan berjalan dengan sendirinya. Alamiah saja. Ia tak terpengaruh perubahan, bahkan ruang dan waktu.
(Oleh: Erizal)







Komentar