Siman Bahar dan Bayang-Bayang di Balik PETI
Nama Siman Bahar alias SB kembali terngiang di telinga publik. Dalam percakapan masyarakat setempat, sosok ini diduga disebut-sebut berada di balik kisruh penertiban Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Sekayok, Kecamatan Sebalo, Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat.
Bukan sekadar isu tambang, ini tentang kepentingan besar yang menyelinap di antara butiran emas dan derasnya aliran sungai.
Di tengah kabar yang simpang siur, satu hal pasti bumi Sebalo tengah merintih, dan warganya terbelah antara kebutuhan perut dan jerat hukum negara.
Luka Bernama Penegakan Hukum
Senin sore, 25 Agustus 2025, Sekayok mendadak riuh. Polres Bengkayang bersama tim gabungan mencoba menertibkan aktivitas PETI.
Namun, suasana berubah mencekam ketika massa yang sebagian besar adalah pekerja tambang ilegal menolak keras penertiban itu.
Di antara suara jerit, debu jalanan, dan gesekan kepentingan, Ipda Pepen Saiyan menjadi saksi hidup betapa rumitnya perlawanan rakyat.
Dalam video yang viral, tubuhnya terdorong, digigit, hampir jadi amukan massa.
Kapolres Bengkayang, AKBP Syahirul Awab, bahkan melihat sendiri mobil dinasnya jadi sasaran amarah. Massa tak sekadar menolak, mereka melawan.
Bara Amarah Warga
Kericuhan bermula saat aparat menangkap seorang penambang bernama Mikael.
Bagi warga, Mikael bukan sekadar penambang.
Dia simbol, pemimpin, dan “wakil suara” mereka. Penangkapannya memicu kemarahan massa, seolah negara merampas napas mereka.
Massa menolak aparat keluar lokasi. Mereka membuat kesepakatan sepihak, “Kalau Mikael bebas, polisi pun bisa pergi.”
Situasi di lapangan tegang. Warga membawa kayu, polisi menahan diri, dan matahari sore seakan ikut membara. Bentrokan nyaris terjadi, namun aparat memilih menahan perlawanan demi menghindari korban.
Alam Saling Bertabrakan
Di balik konflik ini, ada bayang-bayang kebijakan nasional. Kapolres Bengkayang menegaskan, langkah penertiban PETI merupakan perintah langsung dari Presiden RI Prabowo Subianto.
Ada dua nama besar yang sempat diamankan aparat MI dan ALG, para pemodal tambang. Namun penahanan mereka justru memantik api kemarahan yang kian membara.
Ketika alat berat diangkut, pasir emas diperebutkan, dan kayu-kayu penyangga hutan ditebang, bumi Sebalo menjadi saksi benturan kepentingan antara ekonomi rakyat dan penegakan hukum negara.
Bumi Sebalo Menjerit, Sungai Menangis
Kericuhan PETI bukan sekadar soal tambang ilegal. Ini soal ekosistem yang perlahan hilang.
Hutan-hutan di Bengkayang menipis, sungai-sungai tercemar lumpur, dan udara pekat debu emas.
Tapi di sisi lain, ratusan keluarga menggantungkan hidup pada butiran pasir emas di dasar sungai.
Inilah ironi modern di satu sisi, negara menegakkan aturan; di sisi lain, rakyat menolak mati perlahan.
Warga Menang Rugi
Hasil akhir drama ini seperti kompromi setengah hati. Sebanyak 12 personel Polres Bengkayang dan kendaraan mereka sempat tertahan di lokasi. Namun, setelah negosiasi alot, polisi akhirnya dilepas.
Sebagai gantinya, dua terduga pelaku PETI pun dikembalikan kepada warga. Situasi berangsur kondusif, tapi bumi Sebalo tetap menyimpan luka lama.
Hutan terkikis, sungai tercemar, dan aparat kewalahan melawan skema ekonomi bawah tanah.
Siapa Siman Bahar Alias SB?
Nama Siman Bahar alias SB mungkin hanya desas-desus, tapi kisahnya berulang. Setiap kali PETI Bengkayang memanas, bayangan jaringan besar tambang ilegal selalu muncul.
Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyorot Siman Bahar (SB), Direktur Utama PT Loco Montrado, tersangka kasus dugaan korupsi pengolahan anoda logam.
Meski dalam kondisi sakit dan harus siaga tabung oksigen, Siman Bahar tetap diperiksa dengan durasi terbatas 15 menit per sesi, sesuai rekomendasi IDI.
KPK telah menyita Rp100,7 miliar diduga hasil korupsi kerja sama PT Antam dan PT Loco Montrado pada 2017.
Siman Bahar dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 KUHP.
Tersangka Siman Bahar juga diketahui memiliki Hotel Golden Tulip Pontianak di Jalan Teuku Umar, Nomor 39, Kelurahan Darat Sekip, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dan juga beragam aset-aset lainya di Pulau Kalimantan melimpah ruah.
Apakah negara benar-benar hadir, atau hanya sekadar penonton drama tambang ini?
Di balik kepingan emas, ada cerita tentang mereka yang mempertaruhkan nyawa, tentang aparat yang tak kuasa melawan ribuan massa, dan tentang sebuah hutan yang perlahan mati tanpa suara.
Ini bukan sekadar berita kriminal. Ini potret rapuhnya hubungan antara negara, rakyat, dan alam. Negara hadir dengan Undang-Undang, warga hadir dengan perut kosong melompong, dan hutan hadir dengan jeritan sunyi.
Bumi Sebalo, tempat sungai-sungai dulu jernih, kini menjadi saksi bisu perebutan kepentingan.
Kasus PETI Bengkayang bukan selesai di sini. Nama-nama besar mungkin akan terus berbisik, massa akan kembali turun, dan polisi akan kembali berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Tapi satu yang tak boleh dilupakan bumi Sebalo menangis, dan hutan Kalimantan Barat makin menipis.
Sumber: Istimewa







Komentar