Retorika Usang Dua Negara dan Realitas Penindasan Palestina
Oleh: Shalman Al Farisy
(Kepala Bidang Kajian Global Bidang Hubungan Luar Negeri PP KAMMI)
Pernyataan Presiden Prabowo yang menegaskan solusi dua negara sebagai jawaban genosida zionis Israel ke Palestina sangat rapuh dan menyesatkan. Dua negara dikatakan sebagai jalan keluar permasalahan, padahal dunia sudah menyaksikan selama puluhan tahun bahwa gagasan ini tak pernah benar-benar hidup, kecuali di meja konferensi dan pidato diplomatik. Sejak Oslo, Camp David, hingga berbagai resolusi PBB, selalu berakhir dengan kebuntuan. Lalu, mengapa kita masih mengulang mantra yang sama, seakan-akan sejarah kegagalan panjang itu tidak pernah mengajarkan kita tentang kebiadaban Israel?
Lebih ironis lagi, realitas di lapangan justru menampar habis gagasan ini. Tanah Palestina terus dicabik-cabik oleh pemukiman ilegal Israel. Tepi Barat sudah dipenuhi blok-blok pemukim, tembok raksasa, dan pos pemeriksaan yang membuat wilayah Palestina terpisah menjadi kantong-kantong kecil tak terhubung. Apakah itu yang dimaksud “negara”? Sebuah wilayah yang dipreteli, tak punya kedaulatan perbatasan, tak bebas mengatur mobilitas rakyatnya sendiri? Menyebutnya negara sama saja dengan melecehkan makna kedaulatan, jelas bertentangan dengan pembukaan undang-undang dasar 1945.
Masalah pengungsi pun menunjukkan betapa dua negara hanya akan melanggengkan ketidakadilan. Jutaan pengungsi Palestina yang terusir sejak Nakba 1948 menuntut hak kembali. Tapi dalam wacana dua negara, hak itu selalu ditepikan demi menjaga komposisi demografi Israel. Dengan kata lain, jutaan manusia harus rela kehilangan rumah, tanah, dan sejarah mereka hanya agar Israel tetap bisa mempertahankan identitas etnoreligiusnya. Apakah itu yang disebut solusi? Atau justru kejahatan yang dilegalkan dengan stempel perdamaian?
Dalih keamanan Israel juga selalu dijadikan tameng. Israel menuntut jaminan bahwa tidak akan ada ancaman dari negara Palestina, padahal fakta sehari-hari yang terbuka lebar pada kita justru rakyat Palestina yang hidup tanpa rasa aman, diblokade, ditembaki, ditangkap sewenangwenang. Apa artinya dua negara damai berdampingan bila salah satu tetap memegang superioritas militer, sementara yang lain dipaksa tunduk? Itu bukan perdamaian, melainkan penjajahan dalam wajah baru, apartheid dengan bendera diplomasi.
Lebih parah lagi, momentum dua negara sudah lama mati. Batas 1967 yang dulu dijadikan patokan kini hanya tinggal mitos. Pemukiman ilegal sudah menelan wilayah itu habis-habisan. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang “kembali ke garis 1967” ketika tanahnya sendiri sudah dipenuhi beton pemukim dan tembok raksasa? Narasi dua negara hari ini tak lebih dari khayalan akademik yang dipelihara untuk menenangkan nurani internasional, sementara rakyat Palestina terus dipukul dengan kenyataan pahit.
Dan mari kita jujur soal politik, banyak elite Israel terang-terangan menolak solusi dua negara. Mereka menegaskan bahwa Yerusalem tidak bisa dibagi. Lalu apa yang tersisa bagi Palestina? Serpihan tanah, tanpa ibu kota, tanpa kendali penuh, tanpa hak pengungsi. Apa gunanya berdiri di forum internasional menyebut dua negara sebagai solusi, jika bahkan pihak yang paling diuntungkan tidak pernah berniat serius menerimanya? Dan kita yang malah dengan bangganya menyuarakan di forum besar.
Inilah kelemahan fatal dari pernyataan Presiden Prabowo. Menyebut “two-state solution” sebagai jalan keluar sama saja dengan mengafirmasi status quo bahwa Israel terus menindas, Palestina terus dipinggirkan, sementara dunia berpura-pura menunggu solusi yang tidak pernah datang. Alih-alih berpihak pada keadilan, pernyataan ini justru ikut melanggengkan mitos yang sudah lama menjadi tameng diplomatik bagi Israel dan menyakitkan hati para rakyat dan pejuang Palestina.
Jika Indonesia sungguh ingin berpihak pada Palestina, maka sudah saatnya berani berkata, dua negara bukan lagi solusi, melainkan ilusi. Yang dibutuhkan bukan sekadar mengulang retorika usang, tapi mendobrak dengan paradigma baru, apakah itu satu negara dengan kesetaraan penuh, konfederasi, atau bentuk lain yang benar-benar menjamin hak hidup, tanah, dan martabat rakyat Palestina. Tanpa keberanian itu, kita hanya akan menjadi bagian dari koor dunia yang terus bernyanyi tentang perdamaian, sementara di Gaza dan Tepi Barat darah masih terus menetes. (*)







Komentar