Rehabilitasi Orde Baru: Nepotisme dalam Wajah Baru Kekuasaan

Di negeri yang sejarahnya sering disusun ulang sesuai kepentingan penguasa, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukanlah kejutan, melainkan kelanjutan. Apalagi kini negara ini dipimpin oleh Prabowo Subianto, mantan menantu sang jenderal besar Orde Baru itu. Maka ketika Soeharto dijadikan pahlawan, kita tak perlu heran. Dalam politik yang berlapis loyalitas keluarga dan patronase kekuasaan, keputusan ini terasa bukan sekadar penghargaan sejarah, tapi juga penghormatan pribadi.

Prabowo, seperti banyak elit di republik ini, tahu persis bagaimana memelihara simbol dan warisan kekuasaan. Dengan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, ia seolah menutup lingkaran sejarah, menebus masa lalu sekaligus menegaskan garis keturunan politik yang tak pernah benar-benar putus sejak 1966. Di bawah selimut kata “jasa pembangunan”, masa gelap pembantaian, represi, dan korupsi dihapus dari ingatan publik.

Ironinya, di tengah wacana rekonsiliasi dan keadilan transisi yang tak pernah usai, negara justru memilih mengabadikan nama seorang diktator. Padahal dunia masih mengingat Soeharto sebagai otak di balik operasi berdarah 1965, pendudukan Timor Timur, hingga hilangnya ribuan aktivis. Namun di negeri ini, sejarah bisa dibersihkan seperti kaca etalase menjelang upacara kenegaraan.

Lebih ironis lagi, penghargaan itu hadir di tengah iklim politik yang makin kental aroma nepotisme. Prabowo mungkin bukan lagi menantu Soeharto di atas kertas, tapi semangat keluarga dan titipan jabatan tampak hidup di setiap sudut kekuasaan. Dari presiden sebelumnya yang menitipkan putranya di kursi wakil presiden, hingga para oligarki yang menitipkan nama-nama kepercayaan di kementerian dan BUMN, negara terasa kembali pada pola lama: kekuasaan untuk keluarga, jabatan untuk kerabat.

Kabinet yang seharusnya menjadi ruang meritokrasi kini lebih menyerupai peta loyalitas. Para menteri bukan lagi teknokrat bebas, melainkan perpanjangan tangan dari kepentingan politik yang saling berutang budi. Sekretariat Kabinet dipenuhi orang-orang dekat, sementara publik hanya jadi penonton yang dihibur dengan jargon stabilitas dan pertumbuhan.

Indonesia tampak bergerak, tapi sebenarnya berputar di tempat, kembali ke masa ketika garis darah dan kedekatan menentukan arah bangsa. Jika Soeharto kini disebut pahlawan, maka mungkin itu cermin dari zaman yang sedang kita jalani, zaman ketika sejarah bukan lagi penuntun moral, tapi alat legitimasi.

Dan di tengah semua itu, Prabowo hanya menjalankan kodratnya: menjadi menantu yang baik.

Komentar