Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede, menegaskan bahwa rencana redenominasi rupiah yang kembali digulirkan pemerintah bukan pemotongan nilai uang, melainkan sekadar penyederhanaan jumlah digit. “Redenominasi hanya memangkas digit, bukan memangkas nilai, sehingga bersifat netral terhadap inflasi bila prasyaratnya dipenuhi,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (10/11/2025).
Sebagai contoh, uang Rp25.000 nantinya akan ditulis menjadi Rp25 tanpa mengubah nilai daya belinya. Josua menjelaskan, langkah ini dapat membuat transaksi lebih efisien, mempermudah pencatatan akuntansi, dan menghemat biaya percetakan uang dalam jangka panjang. Namun ia menekankan, kebijakan ini baru bisa berhasil bila ekonomi dalam keadaan stabil: inflasi terkendali, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak bergejolak, ekspektasi harga terjaga, serta kondisi sosial-politik tetap kondusif.
“Pengalaman berbagai negara menunjukkan keberhasilan redenominasi terjadi hanya ketika perekonomian stabil dan disertai komunikasi publik yang intensif,” kata Josua.
Pernyataan itu tampak menenangkan, namun di balik istilah “penyederhanaan digit”, banyak ekonom menilai redenominasi justru menjadi isyarat lain bahwa inflasi di negeri ini telah terlalu lama dibiarkan tanpa perbaikan mendasar. Pemerintah berusaha menata persepsi, bukan menata nilai uang.
Secara historis, kebijakan semacam ini kerap muncul ketika nilai mata uang suatu negara telah kehilangan daya beli riilnya. Turki menghapus enam nol dari lira pada 2005 setelah inflasinya menembus 70 persen, dan Zimbabwe melakukan hal yang sama berulang kali di tengah hiperinflasi ribuan persen. Kini Indonesia tampak mengikuti pola yang sama—bukan karena ekonominya kuat, tetapi karena nilainya terus tergerus diam-diam.
Data Bank Indonesia menunjukkan inflasi tahunan Indonesia masih bertahan di kisaran 4,2 persen selama tiga tahun terakhir, sementara rupiah terpuruk di level Rp16.600 per dolar AS pada awal November 2025—terlemah sejak pandemi. Di tengah tekanan harga bahan pokok dan lonjakan biaya impor, wacana redenominasi menjadi “hiasan optimisme” di atas fondasi ekonomi yang sebenarnya rapuh.
Redenominasi memang memudahkan hitungan, tetapi tidak mengubah realitas. Daya beli masyarakat tetap menurun, harga kebutuhan terus naik, dan nilai rupiah yang dipotong nolnya hanya mempercantik angka di kertas, bukan memperbaiki isi dompet rakyat. Dalam praktiknya, langkah ini lebih menyerupai make-up ekonomi—strategi politik untuk menutupi luka lama inflasi yang belum sembuh.
Ketika triliuner turun menjadi miliarder, dan miliarder menjadi jutawan, seolah ada perbaikan dalam sistem moneter. Padahal, uang yang sama hanya kehilangan “beratnya”. Redenominasi membuat angka tampak lebih kecil, tetapi masalah inflasi, defisit, dan ketimpangan daya beli tetap besar.
Dengan demikian, redenominasi bukan solusi terhadap harga yang melonjak atau kurs yang melemah, melainkan cara pemerintah merapikan tampilan ekonomi agar terlihat lebih sehat di atas kertas. Nol boleh hilang, tapi daya beli rakyat tidak akan ikut kembali.







Komentar