Rakyat: Jangan Sampai Purbaya Bernasib seperti Novel Baswedan

Banyak rakyat yang meletakkan harapan baru pada menteri ekonomi purbaya, dan manuvernya baru baru ini memang cukup dianggap mengusik “penguasa” lainnya. Tujuh tahun lalu, bangsa ini dikejutkan oleh serangan biadab terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, yang disiram air keras usai salat Subuh. Wajahnya rusak, penglihatannya terganggu, dan keadilan bagi pelakunya pun terasa jauh dari tuntas. Kasus itu menjadi simbol pahit tentang bagaimana keberanian memberantas korupsi bisa dibalas dengan kekerasan.

Saat itu, Novel sedang menangani kasus megakorupsi proyek e-KTP senilai Rp5,9 triliun—salah satu kasus terbesar dalam sejarah Indonesia. Kasus tersebut menyeret sejumlah tokoh penting, mulai dari anggota DPR hingga pejabat tinggi kementerian. Keberanian Novel dalam menelusuri jejak uang dan jaringan kekuasaan di balik proyek itu menjadikannya simbol perlawanan terhadap korupsi, sekaligus target bagi mereka yang merasa terusik.

Kini, bayang-bayang itu kembali menghantui sebagian masyarakat ketika melihat sosok Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang dikenal berani dan vokal memperjuangkan kebijakan ekonomi pro-rakyat. Gaya komunikasinya yang lugas dan kebijakannya yang berfokus pada pemerataan justru membuatnya menjadi sorotan banyak pihak, terutama kalangan elite politik dan pengusaha besar yang merasa terusik oleh langkah-langkahnya.

Beberapa waktu terakhir, kritik terhadap Purbaya datang bertubi-tubi dari berbagai arah. DPR mulai menilai pendekatannya terlalu “mengganggu” kementerian lain, sementara sebagian penguasa ekonomi menuding kebijakannya dapat memperlambat pertumbuhan. Namun di sisi lain, masyarakat kecil justru melihatnya sebagai figur yang berani melawan arus dan menolak tunduk pada kepentingan sempit.

Yang mencemaskan, mulai muncul kabar-kabar liar soal teror dan intimidasi terhadap dirinya, bahkan disebut rumahnya pernah dikirimi paket berisi darah. Meskipun hingga kini belum ada bukti valid atau konfirmasi resmi, isu semacam itu cukup untuk menimbulkan rasa khawatir: apakah negeri ini belum juga belajar dari tragedi Novel Baswedan?

Dalam sistem demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan seharusnya diselesaikan dengan dialog dan mekanisme hukum, bukan ancaman dan kekerasan. Apa pun pandangan politik terhadap Purbaya, keselamatannya sebagai pejabat publik harus dijamin negara. Karena jika satu orang yang berani bersuara untuk rakyat kembali menjadi korban kekerasan, maka yang diserang bukan hanya individu, melainkan semangat reformasi dan keberanian moral bangsa ini.

Semoga sejarah kelam itu tidak berulang. Kita tidak butuh lagi “Novel Baswedan” baru untuk mengingatkan bahwa keadilan tak seharusnya dibalas dengan kekerasan.

Komentar