“Raja” Kalimantan Timur Punya Harta Rp300 Miliar

Di Kalimantan Timur, nama Rudy Mas’ud dan istrinya, Sarifah Suraidah, bukan sekadar figur politik. Mereka adalah contoh bagaimana kekuasaan dan kekayaan dapat berjalan beriringan, seperti jalan tol yang mulus menuju pusat kekuasaan. Dengan total harta yang tercatat di LHKPN sekitar Rp331 miliar, pasangan ini bukan hanya peserta dalam gelanggang politik, tetapi pemain utama yang menguasai panggung sekaligus.

Rudy Mas’ud mulai menancapkan pengaruhnya saat melenggang ke Senayan pada periode 2019 sampai 2024. Sebelum itu, ia punya akar kuat di dunia bisnis dan organisasi Golkar. Posisi sebagai Ketua DPD Golkar Kaltim membuat jalannya menuju kursi gubernur terasa seperti skenario yang sudah disiapkan jauh hari. Saat ia akhirnya maju Pilgub, kemenangan tampak menjadi soal waktu, bukan pertanyaan.

Cerita menarik muncul ketika Rudy mengundurkan diri dari DPR untuk fokus sebagai calon gubernur. Kursi itu tidak jatuh ke kader lain dan tidak pula diperebutkan ulang. Kursi tersebut justru diberikan kepada istrinya sendiri, Sarifah Suraidah. Dalam sekejap, satu keluarga menguasai dua poros kekuasaan sekaligus, yaitu eksekutif daerah dan legislatif pusat. Di banyak daerah, situasi seperti ini bisa memicu perdebatan panjang. Di Kaltim, semuanya berlangsung tenang dan nyaris dianggap biasa.

Publik pun mulai bertanya. Apakah ini hanya kebetulan atau tanda bahwa dinasti politik sedang tumbuh subur. Rumor tentang peran anggota keluarga lain dalam proyek pemerintah daerah ikut menguatkan dugaan bahwa aroma nepotisme semakin nyata.

Kekayaan atau hubungan keluarga tidak otomatis membuat seseorang tidak layak memimpin. Hal itu juga tidak melanggar aturan. Namun ketika kekuasaan dan harta terpusat pada satu keluarga, wajar jika muncul kekhawatiran mengenai potensi konflik kepentingan. Apalagi di provinsi yang sedang mengalami lonjakan nilai ekonomi akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara. Dalam situasi seperti ini, akses terhadap proyek, jaringan bisnis, dan keputusan strategis dapat menentukan siapa yang menikmati masa depan dan siapa yang hanya menonton.

Karena itu, masyarakat Kaltim berhak mencermati langkah keluarga Mas’ud dengan lebih kritis. Bukan hanya soal besarnya kekayaan, tetapi juga bagaimana mereka menggunakan kekuasaan, kepada siapa manfaatnya mengalir, dan apakah keputusan publik tetap bebas dari dominasi satu keluarga saja.

Kaltim kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi ada harapan besar dari pembangunan IKN. Di sisi lain terdapat risiko konsentrasi kekuasaan yang terlalu rapat dalam satu lingkaran keluarga. Pada akhirnya rakyatlah yang harus memastikan bahwa pemimpin tidak hanya kuat secara finansial, tetapi juga mampu menjaga jarak dari praktik yang hadir secara diam-diam. Nepotisme sering kali dibungkus rapi dan terlihat seperti keberhasilan politik.

Komentar