✍🏻Erizeli Jely Bandaro
Di negeri ini, ada satu kemampuan pemerintah yang tidak pernah defisit: kemampuan mengubah kesulitan menjadi slogan, dan mengubah krisis menjadi brosur investasi.
Maka tidak heran ketika ekonomi melemah, pajak merosot, pabrik tutup, dan PHK meluas, tiba-tiba muncul berita bombastis: “Puluhan triliun investasi relokasi industri dari China dan Vietnam akan masuk ke Indonesia.”
Itu Bukan berita. Itu propaganda yang dibungkus sebagai harapan, disebar untuk menutup rasa putus asa. Sama seperti menutup lubang di kapal bocor dengan poster bertuliskan “Kapal Aman, Jangan Panik”.
Orang yang cerdas, melek informasi — tahu bahwa klaim seperti itu perlu ditimbang dulu sebelum ditelan.
Logika dasarnya sederhana banget: Pabrik yang sudah ada saja memilih tutup karena merugi, masa ada pabrik baru yang mau datang untuk ikut rugi bersama.
Industri itu tidak pindah karena romantisme diplomasi. Industri pindah karena kepastian bisnis. Dan justru yang itu tidak tersedia di Indonesia hari ini.
Ketika propaganda investasi palsu dijual, realitas di lapangan menggambarkan sesuatu yang jauh lebih gelap: Lima pabrik hulu tekstil resmi berhenti operasi. Bukan wacana. Bukan kemungkinan. Faktanya: tutup.
APSyFI menyebut:
- PT Polychem Indonesia (Karawang & Tangerang) → stop total
- PT Asia Pacific Fibers (Karawang) → stop
- PT Rayon Utama Makmur (Sritex Group) → stop
- PT Panasia Indosyntec → stop
- PT Sulindafin (Tangerang) → stop
Total pekerja yang terkena PHK: ±3.000 orang.
Ini pabrik hulu, lho. Artinya fondasi industri tekstil nasional. Kalau hulunya mati, hilirnya tinggal hitungan waktu. Dan penyebabnya pun bukan berita baru: dumping impor (impor produk murah) yang tidak dikendalikan, penjualan lokal tidak bergerak, pabrik beroperasi di bawah 50%, bahkan ada yang pakai sistem on-off seperti lampu darurat.
Farhan dari APSyFI bahkan menyebut: Lima mesin polimerisasi sudah berhenti total. Kalimat ini terdengar sederhana. Tapi di dunia industri, itu setara dengan: Rumah sudah kami jual, kami tinggal numpang dulu.
Lebih ironis lagi , asosiasi meminta pemerintah membuka daftar penerima kuota impor terbesar. Harusnya gampang. Semua barang impor tercatat di sistem bea cukai. Kalau negara saja tidak tahu atau tidak mau menyebut siapa penerima kuota impor terbesar, siapa yang percaya bahwa negara bisa menarik investor besar?
Yang mau masuk hanyalah:
- investor yang cari rente,
- investor yang cari lahan permainan,
- atau investor yang tidak peduli etika dan lingkungan.
Yang butuh kepastian dan industri berkelanjutan? Mereka sudah angkat koper sejak lama.
Jadi, Relokasi Puluhan Triliun Itu Apa?
Jawabannya mudah: Kalimat promosi untuk menenangkan masyarakat ketika angka PHK sudah tidak bisa ditutupi.
Relokasi industri bukan soal “keinginan pemerintah” —tapi soal: listrik yang stabil, regulasi yang predictable, birokrasi yang tidak membebani, dan pasar domestik yang tidak mati suri.
Hari ini, kita tidak punya itu semua. Yang kita punya hanyalah konferensi pers, disebar oleh influencer dengan meme optimisme.
(*)







Komentar