“Cangkang” barangkali metafora paling tepat untuk menggambarkan lanskap kekuasaan hari ini. Di luar, tampak wajah baru: Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia. Namun di dalamnya, masih berdenyut napas lama, napas Jokowi. Ia seolah telah menetas, tapi sejatinya masih terkurung dalam tempurung politik masa lalu.
Prabowo hari ini bukanlah figur yang sepenuhnya bebas. Ia muncul dari rahim kekuasaan Jokowi, dan karena itu masih menanggung hutang budi besar kepada sang pendahulu. Publik tentu ingat, pada Pemilu 2024, seluruh perangkat kekuasaan, dari birokrasi, infrastruktur politik, hingga figur Gibran Rakabuming Raka, bergerak dalam satu tarikan nafas: memenangkan Prabowo. Hutang itu kini menagih lunasannya dalam bentuk loyalitas politik yang nyaris total.
Sebuah potongan video dari akademisi Ubedilah Badrun ini juga layak disimak
Bukan rahasia lagi, di masa Jokowi, anggaran negara seolah menjadi ladang yang subur bagi penyimpangan. Banyak menteri di eranya harus menanggung dosa politik dan administratif, mulai dari Thomas Lembong hingga Nadiem Makarim. Entah karena kelengahan Jokowi atau karena sistem yang dibiarkannya berkarat, daya rusak fiskal era Jokowi tak bisa dianggap remeh. Ia memang bukan diktator dalam tutur, tapi ia bisa sangat destruktif dalam kebijakan.
Kini, di bawah pemerintahan Prabowo, kekuasaan itu tak banyak berubah. Prabowo tampak lebih sering menjadi pelindung bagi warisan politik Jokowi ketimbang menjalankan mandat rakyat. Dari isu ijazah palsu hingga bocornya anggaran kereta cepat Woosh, ia berdiri di garis depan untuk membentengi reputasi sahabat politiknya. Sikap itu menimbulkan kesan bahwa republik ini masih dikendalikan oleh kekuatan lama yang sekadar berganti kulit.
Yang paling mengkhawatirkan bukanlah Jokowi yang masih berkuasa secara simbolik, melainkan kemungkinan bahwa ia tengah menyiapkan jalan kembali, bukan sebagai presiden, tapi mungkin sebagai wakil bagi anaknya di 2029. Sebuah rancangan dinasti politik yang, bila benar, akan membawa bangsa ini mundur ke era yang lebih gelap dari Orde Baru: otoritarianisme berwajah demokratis.
Presiden cangkang bukan sekadar metafora, ia realitas politik. Dan selama cangkang itu belum pecah, kekuasaan sejati akan tetap tersembunyi di balik kulit yang sama, kulit bernama Jokowi.







Komentar