Prabowo punya satu kelemahan serius

Ada satu pola yang sebenarnya kelihatan jelas, tapi jarang dibahas jujur. Presiden Prabowo itu sering kelihatan dibego-begoin orang-orang di sekelilingnya sendiri. Bukan sekali dua kali. Dan kasus Bahlil soal listrik Aceh itu bukan perkara kecil. Itu alarm keras.

Bayangin. Dia Presiden. Paling atas. Tapi apa semua yang dia dengar itu kondisi asli di lapangan? Enggak. Yang sampai ke dia itu laporan. Yang sudah disaring. Dipoles. Dibikin enak didengar.

Bahlil bilang listrik Aceh sudah 93 persen nyala. Kalimatnya rapi. Angkanya cakep. Kedengeran beres.

Tapi rakyat di bawah gimana? Masih gelap. Masih hidup pakai genset. Masih mati lampu berhari-hari.

Di sini kita harus jujur. Ini bukan soal salah hitung. Ini soal laporan yang dibagus-bagusin sebelum naik ke atas.

Kalau satu menteri berani bilang 93 persen padahal lapangan beda jauh, pertanyaannya sederhana: berapa banyak laporan lain yang juga dibikin manis sebelum sampai ke presiden?

Ini bukan buat bela presiden Prabowo. Justru ini peringatan. Karena presiden. Prabowo punya satu kelemahan serius. Bukan soal niat. Tapi soal informasi.

Prabowo itu tipe orang lapangan. Gaya militernya kelihatan. Percaya sama bawahan. Percaya sama laporan. Kalau sudah dikasih mandat, dia anggap jalan.

Masalahnya, politik Indonesia bukan barak. Ini pasar. Banyak yang licik. Angka bisa dinaikkan. Masalah bisa ditutup kalimat manis.

Prabowo bukan tipe yang ngecek satu-satu ke desa. Ke gardu listrik. Ke rumah warga. Dan celah itu dimanfaatkan.

Akhirnya apa? Presiden dikasih laporan bilang beres. Dia percaya. Fokus ke urusan lain.

Begitu rakyat marah karena kenyataannya beda, yang disalahin siapa? Presidennya.

Menterinya? Paling klarifikasi. Paling bilang “data dinamis”.

Ini pola lama. Dan Prabowo sering jadi korban pola ini.

Yang bahaya itu efek lanjutannya. Begitu presiden percaya laporan palsu, bantuan dihentikan. Perhatian dipindah. Daerah yang masih susah dianggap sudah aman.

Dan rakyat? Disuruh sabar.

Prabowo itu orangnya percaya dulu. Curiga belakangan. Makanya hidup politiknya penuh cerita pengkhianatan. Bukan karena dia lemah. Tapi karena dia terlalu percaya.

Jadi jujur saja. Prabowo kuat kemauan. Tapi rentan informasi. Kalau data yang masuk rusak, keputusan pasti melenceng.

Kasus Aceh ini nunjukin satu hal. Ada jarak jauh antara laporan elite dan hidup rakyat. Dan jarak itu dibuat.

Banyak pejabat lebih takut bikin presiden kecewa ketimbang bikin rakyat selamat. Maka angka dinaikkan. Progres diklaim. Kata “sudah” dipakai keburu-buru.

Presiden itu tergantung menteri. Kalau menterinya sibuk jaga jabatan, presiden bisa kelihatan enggak ngerti apa-apa. Padahal yang dia dengar cuma laporan palsu.

Kasus Aceh ini peringatan. Hari ini listrik. Besok bisa pangan. Kesehatan. Pendidikan.

Kalau rakyat diam, pola ini lanjut.

Prabowo butuh laporan jujur. Walau pahit. Bukan angka cantik.

Dan satu-satunya yang bisa maksa itu terjadi cuma tekanan rakyat.

Karena rantainya jelas: Rakyat diam → pejabat nyaman. Pejabat nyaman → presiden dibohongi. Presiden dibohongi → kebijakan salah arah.

Ini bukan soal satu orang. Ini soal sistem.

Selama itu enggak dibongkar, Prabowo akan terus kelihatan enggak paham keadaan. Bukan karena bodoh. Tapi karena disuapi kebohongan rame-rame.

Ini alarm. Buat semua.

(Balqis Humaira)

Komentar