Prabowo Jangan Terkecoh dengan Manuver Budi Arie-Projo-Jokowi

Oleh: Erizal

Wajar saja Jokowi tak mau mendirikan partai politik bersama Projo dan memilih membesarkan PSI.

Projo sejak didirikan, seperti diakui Sekjen Projo, Handoko, diisi oleh orang-orang partai politik juga. Handoko sendiri mengaku kader Partai Golkar dan menjadi salah seorang pengurus di DPP Partai Golkar.

Lalu apa istimewanya Budi Arie Setiadi bergabung dengan Partai Gerindra atau partai lainnya? Bahkan, Projo itu sendiri sebetulnya tak terlalu istimewa, karena diisi oleh lintas politisi itu.

Menghapus foto Jokowi di logo Projo hanya supaya diterima Prabowo, buat apa? Berarti hanya akal-akalan politik Projo saja.

Prabowo tentu saja tak mudah terkecoh dengan manuver politik Projo atau Budi Arie atau mungkin juga Jokowi itu.

Sebab, sebelum Kongres ke-3 digelar, Projo menyambangi rumah Jokowi di Solo. Bukan mustahil apa yang terjadi saat ini adalah hasil pembicaraan antara Projo dengan Jokowi.

Tapi, baik Jokowi maupun Projo atau Budi Arie, terlambat memahami situasi. Bahkan Budi Arie terlambat memahami pidato Prabowo yang menanyakan dia masuk PSI atau Partai Gerindra.

Memahami saja terlambat, apalagi mengeksekusi. Usai direshuffle baru terpikir untuk masuk Gerindra, tak ada gunanya lagi, dan tak akan jadi menteri lagi. Apalagi usai bertemu Jokowi pula.

Projo terlambat menghapus foto Jokowi di logo. Artinya, Projo yang dikatakan berasal dari bahasa Sanskerta atau Jawa Kawi yang berarti negeri atau rakyat itu terpikir kemudian. Mungkin juga hanya akal-akalan saja.

Mestinya foto Jokowi di logo Projo itu dihapus usai Prabowo-Gibran dilantik. Atau usai KPU resmi menetapkan pemenang Pilpres. Atau pada saat masa kampanye Pilpres.

Memperkuat sistem presidentialisme itu bukan dengan cara masuk partainya Presiden, tapi menempatkan Presiden sebagai satu-satunya Raja yang dibatasi Konstitusi sejak awal. Bukan ada Raja lain selain Presiden yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Projo atau Budi Arie atau mungkin juga Jokowi baru sadar setelah setahun berlalu. Setelah Prabowo berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan secara perlahan.

Prabowo tak melakukan konsolidasi kekuasaan secara drastis. Dan tak pula aneh-aneh. Hanya sesuai aturan hukum yang berlaku saja. Tapi itu cukup membuat perbedaan dengan Jokowi. Dan tak perlu menanyakan loyalitas pejabat, tapi dengan kerja dan tindakan.

Prabowo sempat dicemooh, karena hanya menuntut pengembalian, bukan hukuman. Ternyata Prabowo sangat paham bahwa apa yang diambil itu terlalu banyak dan benar-benar membuat bangkrut negara. Itu yang tak banyak dipahami orang.

Betul sekali bahwa Projo ikut memenangkan Prabowo-Gibran sejak awal. Tapi bukan Prabowonya melainkan Gibran atau Jokowinya.

Makanya Projo terkesan berbelok arah, karena baru mendukung Prabowo, padahal sudah sejak awal. Ini kesalahan Projo sendiri. Terlambat memahami situasi. Kesan itu dibentuk oleh Projo sendiri.

Meminjam istilah Hasan Nasbi saat mengkritik Purbaya, mabuk tepuk tangan, kalau Projo memang mabuk Jokowi sejak awal. Tak bisa diobati hanya dengan menghapus foto Jokowi di logo.

Dan tak perlu pula menyalahkan orang lain yang mendikotomikan Prabowo dan Jokowi. Justru dikotomi itu dibuat oleh Projo sendiri secara sadar sesadar-sadarnya.

Mestinya Projo benar-benar meninggalkan Jokowi dan beralih kepada Prabowo. Sebab, Jokowi sendiri sebetulnya sudah meninggalkan Projo dengan tegas mau membesarkan PSI.

Benar-benar meninggalkan Jokowi saja belum tentu bisa diterima oleh Prabowo atau orang di sekitar Prabowo, yang terkenal ketat dan rapat. Apalagi meninggalkan Jokowi setengah hati atau malah, strategi politik Jokowi pula untuk menyusup ke dalam.

Ini seperti intel kawakan yang diinteli anak magang. Mana bisa Prabowo dibuat seperti itu? Beralih kepada Prabowo bukan berarti meninggalkan Jokowi, ini ide yang sudah lama basi.

Sudah terlambat, setengah hati pula. Kongres ke-3 Projo seperti tak berarti apa-apa. Hanya habis-habiskan uang saja. Keliru kalau berharap bisa melenting usai Kongres ke-3 kemarin.

Projo atau Budi Arie bisa jadi akan semakin terhempas. Melenting sebentar, lalu terhempas ke tanah tanpa matras.

Rapat di rumah Jokowi sebelum Kongres ke-3 Projo itu, katakanlah begitu, gagal total. Masih gagal memahami situasi. Tak merasa terlambat, seolah masih bisa mengakali situasi seperti dulu.

Tak hanya Projo atau Budi Arie yang rugi, tapi juga Jokowi. Budi Arie dianggap cari selamat, sementara Jokowi dianggap tak bertaji lagi. Buka aib sendiri.

Bayangkan, hampir tak ada orang yang mendukung manuver Projo atau Budi Arie yang menghapus foto Jokowi di logo dan bergabungnya Budi Arie ke Gerindra.

Dicap pengkhianat karena meninggalkan Jokowi dan dianggap pragmatis karena cari aman di bawah ketiak kekuasaan. Juga, dituduh penyusup dan sekaligus penyusu kekuasaan.

Jokowi pun dianggap sudah selesai, sudah tak bertaji lagi. Isu ijazah palsu menjadi pembenaran. Dugaan korupsi kereta cepat Whoosh seperti mendapat tempat. Alangkah malunya Budi Arie kalau tak diberi posisi di Gerindra. Kalau sekadar masuk, siapapun bisa.

Prabowo, Gerindra, atau pendukungnya, bisa jadi dibuat pusing juga dengan manuver Projo atau Budi Arie atau Jokowi ini. Jadi siapa sebetulnya yang membuat kegaduhan?

Mereka yang bermanuver, terpaksa pihak lain yang tak ada kaitannya terpaksa menanggapi. Bermanuver menentang diri sendiri pula. “Projo bukan Pro Jokowi, tapi Pro Rakyat. Kita tak boleh lagi kultus individu, padahal selama ini mereka sendirilah yang melakukan kultus individu itu,” katanya.

Apa-apa yang berkaitan dengan Jokowi pasti dipersoalkan. Bukan dipersoalkan, tapi memang ada persoalan dan bikin persoalan sendiri.

Prabowo cukup memastikan penegak hukum sesuai aturan saja, itu sudah cukup untuk mematahkan semuanya.

(*)

Komentar