✍️Agustinus Edy Kristianto
Istilah “Patriot Bond” yang diterbitkan Danantara rasanya berlebihan dan berpotensi menyesatkan publik. Bagi saya, lebih tepat disebut “Prabowo Bond”, sebagai simbol bahwa pembelinya (para konglomerat) mengikat diri dalam proyek politik Prabowo—tidak semata kepahlawanan dan cinta tanah air.
Memang kuponnya hanya 2%, kalah dari rata-rata kupon Surat Berharga Negara (SBN) untuk tenor dua tahun sebesar 5% dan lima tahun 5,5%. Tapi kabar terbaru menyebutkan ternyata Patriot Bond bisa diperdagangkan dan dijadikan agunan di bank-bank Himbara seperti BRI, BTN, Mandiri, dan BNI (Kontan, 3/10/2025).
Apalagi, beberapa waktu lalu diberitakan pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara. Bisa dibilang dana itulah yang kemungkinan besar akan “ditukar” sebagai fasilitas kredit bagi pembeli Patriot Bond. Artinya, Patriot Bond adalah alat leverage (daya ungkit) bisnis yang membuka akses kredit jumbo ke bank Himbara sekaligus simbol reputasi politik karena pembelinya dianggap “berjasa” membiayai proyek negara.
Saya mendapatkan data tabel 46 konglomerat pembeli Patriot Bond senilai total Rp51,75 triliun (per 19 September 2025). Untuk mudahnya, saya bagi tiga klaster:
- Pembeli jumbo (Rp3 triliun, 7 konglomerat) terdiri dari Anthony Salim, Prajogo Pangestu, Aguan, dkk.;
- Pembeli menengah (Rp1 triliun–Rp1,6 triliun, 12 konglomerat) terdiri dari James Riady, Tommy Winata, Dato Tahir, dkk.;
- Pembeli kecil (< Rp1 triliun, 27 konglomerat) terdiri dari Arif Rachmat (Triputra), Putra Sampoerna, Djoko Susanto (Alfa Group), dkk.
Dari daftar tersebut, tak saya temukan nama pengusaha dari TOBA Group, Bakrie, maupun Haji Isam (Jhonlin). Apakah berarti mereka tidak patriot? Tapi bagaimana jika mereka yang tidak ikut “urunan” kelak bisa ikut menikmati fasilitas pinjaman dari Danantara atau bank Himbara untuk membiayai proyek-proyek energi mereka?
Perhitungan sederhana saya menunjukkan, “Patriot Bond” menguntungkan konglomerat bukan karena kuponnya yang cuma 2%, tetapi karena akses dan fasilitas khusus kredit seperti haircut, special treatment dari Himbara, dan rantai pasok yang didukung oleh program strategis negara seperti MBG, rumah subsidi, Koperasi Merah Putih, ketahanan pangan, dan seterusnya.
Kalau, misalnya, Anthony Salim membeli Patriot Bond Rp3 triliun tanpa leverage, ia hanya akan mendapat kupon 2% = Rp60 miliar/tahun (total 5 tahun: Rp300 miliar). Padahal kalau ia beli SBN biasa dengan kupon 5,5%, ia dapat Rp165 miliar/tahun (5 tahun = Rp825 miliar).
Tapi bayangkan kalau ia mendapatkan “special deal” karena dianggap patriot, sehingga bank Himbara memberinya plafon 200%. Itu berarti dengan agunan Patriot Bond Rp3 triliun, ia bisa mendapat kredit Rp6 triliun.
Jika bunga kredit 9%, maka beban bunganya Rp540 miliar/tahun. Kalau diputar ke bisnis dengan margin 15%, hasilnya Rp900 miliar/tahun. Ditambah kupon Patriot Bond Rp60 miliar, maka total keuntungan per tahun Rp420 miliar (Rp900 miliar – Rp540 miliar + Rp60 miliar). Dalam 5 tahun, keuntungan bersihnya bisa mencapai Rp2,1 triliun.
Bagaimana memutar bisnis supaya dapat margin 15% atau bahkan lebih? Dari sekian banyak lini bisnis, sektor pangan milik Anthony Salim adalah salah satu yang ketiban durian runtuh dari program MBG dan ketahanan pangan.
Apakah itu semua salah? Saya pikir belum tentu. Namanya bisnis, ya begitu. Konglomerat berbisnis, negara pun berbisnis!
Saya hanya keberatan kalau hal itu disebut patriot, karena menurut saya, yang patriot itu justru para guru dan orang tua (kebanyakan miskin) yang anak-anaknya keracunan MBG tapi sekuat tenaga berusaha menyelamatkan nyawa anak-anak itu.
Salam,
AEK







Komentar