PDIP vs PSI: Jokowi Menjilat Ludahnya Sendiri

Polemik antara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan PDI-Perjuangan (PDIP) memanas setelah Ketua Harian PSI Ahmad Ali menyindir keberadaan “nenek-nenek yang puluhan tahun menjadi ketua partai”. Sindiran itu langsung dibalas keras oleh politikus PDIP, Guntur Romli, yang menyeret kembali pernyataan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), tentang keinginannya pensiun dan pulang ke Solo.

Guntur menegaskan, tidak ada seorang pun yang memaksa Jokowi pensiun atau mundur dari panggung politik. Justru, kata dia, Jokowi sendiri yang pernah menyatakan ingin menjadi rakyat biasa dan momong cucu setelah lengser dari kursi presiden.

“Yang bilang mau pulang ke Solo, pensiun, jadi rakyat biasa, momong cucu itu Jokowi sendiri, tidak ada yang nyuruh-nyuruh dia,” ujar Guntur kepada Kompas.com, Minggu (23/11/2025).

Namun, menurut Guntur, realitas politik yang terjadi justru berbanding terbalik. Jokowi masih aktif terlibat dalam berbagai manuver politik hingga menuai sorotan publik. Karena itu, ketika Jokowi mendapat kritik, Guntur menilai hal tersebut sebagai konsekuensi dari sikapnya sendiri.

“Kalau saat ini dia masih cawe-cawe di politik, kemudian disindir-sindir, itu karena Jokowi menjilat ludahnya sendiri,” tegasnya.

Sindiran PSI Soal “Nenek-Nenek” Dibalas PDIP: Bentuk Penghinaan Perempuan

Guntur juga menyoroti istilah nenek-nenek yang digunakan Ahmad Ali ketika menyindir ketua partai yang sudah puluhan tahun menjabat. Menurutnya, label tersebut bukan hanya tidak pantas, tetapi merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan yang masih sehat, kuat, dan aktif dalam dunia politik.

“Sebutan nenek-nenek pada seorang perempuan yang masih kuat secara fisik, psikis, dan pikiran sebenarnya bentuk penghinaan pada perempuan,” ujar Guntur.

Ia bahkan menduga ada motif emosional di balik ucapan tersebut. Menurut Guntur, Ahmad Ali maupun Jokowi mungkin masih menyimpan luka terhadap seorang tokoh perempuan yang menolak gagasan masa jabatan presiden tiga periode—meski sebelumnya telah memberikan dukungan politik kepada Jokowi sejak ia menjabat sebagai wali kota, gubernur, hingga presiden.

“Mungkin Ahmad Ali dan Jokowi masih sakit hati pada perempuan yang dihina nenek-nenek itu karena menolak tiga periode. Padahal sudah memberikan dukungan sejak dari wali kota, gubernur, dan presiden,” lanjutnya.

PSI Sebelumnya Menyerang: Mengapa Jokowi Dilarang Bicara Politik?

Dalam pernyataannya sebelumnya, Ahmad Ali mempertanyakan standar ganda publik yang kerap menyuruh Jokowi berhenti berpolitik setelah lengser.

“Sialnya Pak Jokowi ini gini, dia dihina, dimaki-maki. Tapi ketika dia melawan, dia disuruh ‘jadi negarawan’. Ketika bicara politik, dibilang ‘sudah waktunya beristirahat’. Loh, ada nenek-nenek yang sudah puluhan tahun jadi ketua partai,” kata Ali dalam Rakorwil PSI se-Kepri di Batam, Sabtu (22/11/2025).

Pernyataan ini langsung memicu gelombang reaksi, terutama dari PDIP yang merasa jelas menjadi sasaran tembak.

Netizen Ikut Panas: Isu Tiga Periode & “Palu Ketua MK” Kembali Diungkit

Di kolom komentar, publik juga kembali mengaitkan isu penolakan masa jabatan presiden tiga periode oleh PDIP dengan manuver politik lain yang sempat mengguncang arena nasional.

Salah satu komentar tajam menyebut bahwa setelah rencana tiga periode ditolak PDIP, muncul “wacana perjodohan adik kandung/ipar dengan ketua MK”—merujuk pada kontroversi yang menyeret Mahkamah Konstitusi dalam putusan batas usia capres-cawapres.

Komentar itu menegaskan bahwa palu Ketua MK saat itu dianggap menentukan “penghancur penghambat tunggal bagi putra mahkota”—maksudnya adalah syarat usia minimal untuk pencalonan wakil presiden.

Komentar