“PANTESAN MUHAMMADIYAH KAYA”
Refleksi Milad Muhammadiyah ke-113
(18 November 1912-18 November 2025)
Kalau ada lomba ormas paling kaya se-Indonesia, Muhammadiyah boleh masuk ruangan paling dulu sambil senyum tipis dan bilang, “Maaf ya, ini kursi VIP saya.” Konon nilainya tembus ratusan triliun.
Rumah sakit? Banyak. Sekolah? Jangan ditanya. Panti asuhan sampai perguruan tinggi? Sudah kayak franchise yang tiap tahun buka cabang. Yang belum cuma warung ayam geprek Muhammadiyah. Entah kenapa itu belum dibuat, padahal nama “Geprek Al-Ma’un” kedengarannya menjanjikan.
Dan yang bikin tambah keren: semua itu bukan punya ketua, bukan punya ketua cabang, bukan punya ketua ranting, apalagi ketua RT. Semua milik organisasi. Titik. Tidak ada istilah “RS ini tanah embah saya” atau “kampus ini peninggalan bapak saya.” Muhammadiyah anti gaya-gaya feodal yang suka menempelkan nama pribadi di aset bersama.
Di momen Milad ke-113, dengan tema “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”, wajar kalau orang kemudian nyeletuk, “Pantesan Muhammadiyah kaya; wong dari dulu fokusnya memakmurkan banyak orang melalui persyarikatan, bukan memakmurkan satu orang.” Kekayaan ini memang bukan hasil tiba-tiba, tapi buah dari spirit pengabdian yang konsisten, generasi ke generasi.

Rahasia di balik semua ini? Jawabannya datang dari sang pendiri, K.H. Ahmad Dahlan, yang ucapannya sudah wara-wiri di spanduk pengajian macam tagline skincare:
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Kalimat ini sudah kayak password wifi warga Muhammadiyah. Hafal semua. Dipakai semua. Meski kadang ada juga oknum yang pura-pura lupa atau membaca versi modifikasinya: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah… tapi kalau bisa, ya hidup juga dong dari Muhammadiyah.” Namanya juga masih manusia.
Padahal ada satu wejangan Kiai Dahlan yang lebih powerful tapi jarang muncul di baliho:
“Kerja keraslah sampai dapat harta yang halal. Cukupkan untuk keluargamu. Jangan mewah. Sisanya dermakan di jalan Allah.”
Ini sebenarnya perintah multitasking: kerja kayak kuda, hidup kayak kucing kampung, sedekah kayak Sultan.
Dan kalau dipikir-pikir, ini sangat selaras dengan tema Milad 113 tadi “Memajukan Kesejahteraan Bangsa”. Karena mana mungkin bangsa sejahtera kalau warganya saja masih sibuk bergaya hidup sultan dengan gaji karyawan magang. Sedekah menunggu payday loan cair, kerja males, tapi cita-cita pengen makmur. Ya agak berat.
Yang menarik dari Muhammadiyah adalah: warganya dididik untuk ngoyo (kerja keras) mencari rezeki, tapi nrimo dalam urusan gaya hidup. Kerja keras boleh, tapi pamer kekayaan? Haram secara estetika. Beli mobil mewah? Silakan. Tapi siap-siap disindir tetangga Muhammadiyah yang cuma pakai Supra X tapi membiayai SPP anak yatim tiap bulan.
Dan di Milad 113 ini, nilai itu terasa makin penting. Soalnya, memajukan kesejahteraan bangsa bukan cuma soal pembangunan gedung atau jumlah amal usaha tapi tentang bagaimana nilai kesederhanaan dan pengabdian tetap jadi bahan bakar moral di balik semua itu.
Meski Muhammadiyah terbukti telah sukses dalam banyak hal, namun kritikan tetap perlu dijalankan. Nilai luhur itu kadang kalah oleh realitas zaman. Ada yang begitu diberi jabatan, langsung lupa bahwa organisasi ini dibangun dari keringat kolektif, bukan sekadar notulen rapat. Ada yang memandang amal usaha sebagai lahan karier, bukan ladang pengabdian. Jumlahnya sedikit, tapi cukup untuk memicu bisik-bisik halus di pengajian.
Makanya Milad 113 ini bukan cuma perayaan usia, tapi momen refleksi: Apakah kita benar-benar sudah memajukan kesejahteraan bangsa? Atau baru memajukan kesejahteraan personal atau keluarga saja? Sudahkah kita membuat negeri ini lebih baik? Atau baru membuat konten Instagram lebih estetik?
Namun secara umum, Muhammadiyah berhasil melakukan hal yang banyak organisasi lain cuma jadikan tagline: amanah, profesional, dan (relatif) tidak drama. Ini yang bikin asetnya tumbuh kayak tanaman hidroponik yang dirawat presisi, tak terdistraksi drama internal.
Kalau nilai Kiai Dahlan dijalankan secara utuh, kerja keras, hidup sederhana, dan berbagi tanpa ribut, bukan cuma Muhammadiyah yang kaya, tapi warganya ikut sejahtera. Dan siapa tahu, Indonesia bisa punya ekonomi yang bikin negara lain melongo sambil bilang, “Lho, kok tetiba naik kelas?”
Selamat milad Muhammadiyah.
Alfatihah untuk KH Ahmad Dahlan, Nyai Walidah dan para ulama’, pengurus serta warga Muhammadiyah yang telah berpulang ke rahmatullah. Berbahagialah telah hidup bersama Muhammadiyah. Dunia tempat beramal, di sana tempat memetik hasil. Aamiin.
(Setiya Jogja)






Komentar