Sejak Joko Widodo menapaki kursi kekuasaan pada 2014, peta politik Indonesia pelan-pelan berubah menjadi satu warna. Di bawah bendera “gotong royong” dan “rekonsiliasi politik”, satu demi satu partai yang dulu lantang bersuara kini memilih duduk manis di meja kekuasaan. Dari oposisi tinggal nama. Dari perbedaan tinggal formalitas.
Kini, di bawah pemerintahan Prabowo Subianto pernah rakyat berharap adanya perubahan namun situasi tak jauh berbeda. Nyaris tak ada partai yang berani memosisikan diri sebagai penyeimbang. Semua seolah berlomba menjadi bagian dari orbit kekuasaan. Seperti lingkaran matahari yang menyilaukan, siapa pun yang terlalu dekat akan terbakar; yang terlalu jauh, dibekukan oleh dinginnya realitas politik.
Padahal demokrasi, sebagaimana kata para filsuf politik, tumbuh subur dari gesekan ide dan pertentangan gagasan. Tanpa oposisi, kekuasaan kehilangan cermin; tanpa kritik, negara kehilangan arah. Maka ketika parlemen bungkam dan partai-partai saling berebut kursi menteri, beban oposisi kini jatuh pada pundak yang tak seharusnya: media, aktivis, dan netizen.
Media Sebagai Benteng Terakhir
Di tengah serangan buzzer, tekanan ekonomi, dan kepemilikan yang makin oligarkis, media masih berusaha berdiri tegak. Beberapa jurnalis masih berani mempertanyakan, masih menulis dengan nurani, masih menyuarakan yang tak nyaman bagi istana. Tapi tekanan terhadap media bukan lagi datang dari larangan resmi, melainkan dari sistem: iklan yang dikendalikan kekuasaan, ancaman pembredelan digital, hingga pasal karet UU ITE yang menjerat siapa saja yang “keliru” bicara.
Aktivis: Antara Ideal dan Rezim
Para aktivis pun menghadapi masa yang pelik. Gerakan sosial kini kerap dituduh sebagai “penyebar hoaks”, “anti-nasional”, atau “radikal”. Banyak di antara mereka akhirnya bungkam, atau lebih buruk: direkrut menjadi bagian dari struktur yang dulu mereka lawan. Yang tersisa hanyalah segelintir suara yang menolak tunduk, berjuang dari pinggiran, di bawah ancaman pengawasan dan pembungkaman.
Netizen: Oposisi Virtual di Negeri Digital
Lalu, di ruang sunyi internet, muncul oposisi baru: rakyat biasa yang bersuara melalui media sosial. Netizen menjadi kelompok paling cair, paling liar, dan paling jujur dalam menanggapi kekuasaan. Mereka menulis sindiran, membuat meme, menguliti narasi pemerintah lewat video pendek — sebuah bentuk oposisi rakyat dalam era digital. Tapi tentu, kekuatan ini pun rawan: akun bisa diblokir, dilaporkan, atau dilawan dengan pasukan siber yang bekerja siang malam menjaga citra.
Namun di antara semua keterbatasan itu, justru di situlah tersisa nyala demokrasi. Ketika parlemen berubah menjadi stempel kebijakan, dan partai kehilangan roh perjuangan, perlawanan datang dari ruang-ruang kecil — ruang redaksi, ruang diskusi, dan ruang komentar di media sosial.
Karena demokrasi, sejatinya, bukan milik penguasa. Ia hidup dari keberanian warga yang menolak diam







Komentar