NEGARA MILIK PEJABAT

✍🏻Agustinus Edy Kristianto

Ada perubahan penting terkait istilah “Pejabat” dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023), yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

Definisi dalam KUHP Baru kini dibuat lebih spesifik dan luas dari aturan sebelumnya. Pejabat mencakup: pegawai negeri, aparatur sipil negara (ASN), anggota Polri, anggota TNI, pejabat negara, pejabat publik, pejabat daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara/daerah (APBN/APBD), hingga orang yang menerima gaji atau upah dari Korporasi (termasuk yayasan dan koperasi) yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah. (Dasar hukum: Pasal 154 jo. Pasal 614 KUHP).

Kita tidak perlu mendalami definisi hukum ini. Cukuplah kita tahu bahwa siapa pun yang bersentuhan dengan uang negara adalah Pejabat.

Artinya, polisi yang semprat-semprit di jalan raya adalah Pejabat, staf kelurahan yang merokok di depan kantor adalah Pejabat, pasukan oranye yang membersihkan kali adalah Pejabat, tentara yang membantu ngaduk pasir, hingga karyawan yang petentang-petenteng menggunakan lanyard BUMN di kafe juga Pejabat.

Poinnya bukan pada level tinggi-rendah jabatan, melainkan pada status sebagai penerima dan pengelola uang publik yang wajib bertanggung jawab di muka hukum—salah satunya terkait dengan kejahatan dalam jabatan.

Definisi yang meluas ini mempermudah kita mengidentifikasi, apakah kita termasuk Tim Pejabat atau Tim Rakyat.

  • Sebab, fakta bahwa negara ini adalah negara pejabat seterang matahari di siang bolong.
  • Lebih dari 60% APBN kita habis untuk anggaran rutin Pejabat dan segala macam fasilitasnya.
  • Jabatan telah menjadi komoditas yang lebih mahal dan strategis ketimbang konsesi tambang emas, nikel, dan batu bara.
  • Kalau Anda tidak berkuasa, bank akan menolak proposal kredit bisnis Anda—bandingkan dengan situasinya jika Anda sudah berkuasa!

Kenyataan pahit ini membuat saya selalu skeptis terhadap orasi Pejabat yang seolah-olah membela rakyat.

Mau orasi sambil memukul-mukul podium pun, saya akan tetap skeptis sebelum janji-janji itu dibuktikan dengan kerja nyata.

Apalagi saat ini, ‘ideologi’ keberlanjutan yang berlanjut dengan konsolidasi kekuatan partai politik, birokrasi, dan militer cenderung mengarah pada kontrol absolut pemerintah terhadap sumber daya ekonomi negara.

Partai terlihat banyak, suara rakyat terdengar ramai, dan ormas terlihat menjamur… tetapi sesungguhnya, secara substansi, kontrol kekuatan ekonomi berada di satu pintu.

Bahkan, saya amati kelompok konglomerat saat ini ditempatkan ibarat ‘cabang kekuasaan eksekutif’ yang dikontrol melalui koordinator agar ‘tertib’ secara politik. Jika ada yang membangkang, mereka berpotensi ‘diurus’ melalui jalur hukum.

Model negara pejabat menyuburkan dua hal:

  • Pejabat Makelar yang mengincar rente dari proyek strategis bernilai triliunan,
  • dan Pejabat Penjilat yang tumbuh subur karena menjilat adalah prasyarat utama untuk memperoleh jabatan—sebuah komoditas yang diperjualbelikan.

Bukankah dominasi para makelar inilah yang dahulu dikritik oleh Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo (ayah Presiden Prabowo Subianto) sebagai pangkal ketimpangan struktural akibat sejarah penjajahan yang melemahkan daya tawar produsen utama (petani, pengrajin, dsb.)?

Bukankah para makelar itu pula yang mendorong praktik ijon yang makin membuat ekonomi rakyat kecil terpuruk?

Kini, faktanya ada bocah 20 tahun, anak seorang wakil ketua DPRD, yang memiliki 41 dapur Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan ditaksir meraup keuntungan Rp6 miliar per bulan. Ia disinyalir melakukan usaha ‘peternakan’ yayasan untuk mendapatkan jatah dapur.

Dari luar, MBG memang terlihat mulia karena memberi makan rakyat, tetapi agaknya perlu diceritakan juga bahwa MBG turut memberi makan para pejabat dan loyalis kekuasaan lewat ‘peternakan’ yayasan tadi.

Proyek membangun koperasi Merah Putih dan sarana penunjang membutuhkan anggaran Rp3 miliar per koperasi, dan dengan target 80 ribu koperasi, total proyek mencapai Rp240 triliun. Siapa yang bisa menjamin proyek sebesar ini bebas dari makelar?

Mindset makelar juga yang, menurut saya, berada di balik kebijakan pemberian konsesi tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Setelah mendapat konsesi, ormas agama yang sama sekali tidak berpengalaman mengurus tambang pada akhirnya akan bekerja sama lagi dengan pengusaha swasta sebelumnya. Sistem yang digunakan adalah bagi hasil di mana bagi hasil itu biasanya diminta ormas di muka. Uang-uang semacam itulah yang sangat mungkin berada di balik rebutan jabatan puncak ormas. Karena apa? Karena ada duitnya!

Model “bagi hasil” di depan seperti itu bisa terjadi di sektor lain. Contohnya, pada operasi penertiban sawit dalam kawasan hutan. Kebun-kebun yang terjaring operasi dihimpun dalam satu BUMN untuk kemudian dikerjasamakan lagi dengan pengusaha dengan model bagi hasil di muka.

Makelar investasi BUMN ke perusahaan swasta juga ada. Saya duga investasi Rp6,4 triliun BUMN Telkom/Telkomsel ke GOTO adalah kolam yang dipenuhi banyak makelar yang pada ujungnya berpotensi merugikan keuangan negara.

Negara pejabat yang mengarah pada kontrol absolut terhadap sumber daya negara adalah aroma yang saya cium belakangan ini.

Tulisan ini mungkin tidak akan mengubah apa-apa. Namun, setidaknya rakyat jangan miskin hidupnya, tapi juga tidak tahu apa-apa pula. Sebab, kemiskinan dan kebodohan adalah duka nestapa—kesedihan yang teramat sangat.

Salam,
AEK.

Komentar