Nak, dari dulu cuaca ekstrem itu sudah ada. Ia bagian dari siklus bumi—seperti pasang dan surut, seperti siang dan malam. Alam bekerja dengan ritme yang ia pelajari jutaan tahun tanpa pernah ikut rapat koordinasi atau bikin konferensi pers.
Cuaca ekstrem tidak pernah salah. Ia hanya menjalankan tugasnya sebagai bagian dari ekosistem yang saling melengkapi, membuat bumi tetap hidup, tetap subur, tetap makmur.
Yang rusak bukan cuacanya, Nak. Yang rusak adalah keseimbangan ekologinya, ketika manusia—atas nama pembangunan dan profit—mulai menebang hutan tanpa batas, mengeruk bukit dengan ekskavator, mengubah bentang alam menjadi peta tambang dan izin-izin berbayar.
Maka jangan heran, Nak, kalau air yang dulu diserap akar sekarang meluncur tanpa rem.
Bukit yang dulu kokoh menahan tanah kini longsor sedikit diguyur hujan.
Dan sungai yang dulu lapang kini penuh sedimen dan sampah industri.
Kemarin kau sebagai Gubernur Sumut bilang banjir dan longsor terjadi karena cuaca ekstrem. Namun Walhi menatap data, bukan kamera. Walhi menjawab tegas: “Yang ekstrem bukan cuacanya, yang ekstrem itu kerusakan hutannya.”
Dalam 10 tahun terakhir nak, 2.000 hektare hutan di Sumut rusak, banyak yang berubah status menjadi “non-hutan” hanya karena pena pejabat lebih tajam daripada gergaji. Dan ketika pohon terakhir tumbang, tiba-tiba semua orang sibuk menyalahkan awan.
Begitulah, Nak.
Alam selalu berkata jujur.
Yang sering berbohong itu manusia—terutama ketika ada izin tambang, sawit, atau konsesi bermain di balik kalimat “cuaca ekstrem”.
Maka pahamilah bahasa sejati ekologi: bahwa bumi ini cukup untuk semua, tapi tidak akan pernah cukup untuk satu orang yang rakus. Paham ya sayang.
(Erizeli Jely Bandaro)







Komentar