MUDAH TAPI SULIT

Korban keracunan program makan bergizi gratis (MBG) terus berjatuhan. Rekor korban terbanyak terjadi di Garut dengan jumlah korban mencapai 569 orang.

Pertanyaannya: Kok bisa? Apa penyebabnya?

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, punya pendapat
yang sangat logis: Manajemen pengelola kateringnya tidak bagus.

Menurut HB X, ketika porsi yang harus disediakan bertambah, seharusnya pengelola katering menambah alat masak dan tenaga kerja, bukan memajukan jam kerja.

Akibatnya, sayur sudah dimasak pukul 01:30. Padahal jadwal makannya tengah hari. Sudah pasti sayurnya basi. Itulah yang menurut HB X menyebabkan banyak siswa keracunan.

Pertanyaan selanjutnya: mengapa pengelola karering tidak mau menambah alat dan orang? Jawabannya sederhana saja: nambah alat dan karyawan berarti menambah biaya produksi alias mengurangi keuntungan pengelola katering. Sementara menambah jam kerja belum tentu menambah honor (lembur) karyawan. Apalagi dalam situasi susah mencari lapangan kerja.

Sebenarnya ada beberapa solusi yang lebih mudah:

  1. Kurangi porsi pengelola katering dari 1 katering melayani 3.000 porsi menjadi lebih kecil. Misalnya, maksimal 1.000 porsi saja.
  2. Fungsikan kantin sekolah untuk mengelola katering sehingga setiap kantin hanya melayani siswa satu sekolah saja.
  3. Tunjuk pengelola rumah makan lokal yang memiliki reputasi baik sebagai pengelola katering dengan kapasitas yang wajar.
  4. Serahkan fungsi katering kepada masing-masing orang tua siswa. Pemerintah cukup membayar kepada orang tua setiap siswa.

Mudah tapi sulit. Itulah Indonesia.

(JOKO INTARTO)

Komentar