Pada Oktober 2025, tiga nyawa muda melayang dalam diam — dua di Sawahlunto, Sumatra Barat, dan satu di Sukabumi, Jawa Barat. Mereka masih remaja belasan tahun. Ketiganya memilih mengakhiri hidup sendiri, meninggalkan keluarga, sahabat, dan pertanyaan panjang tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik senyum mereka.
Tragedi Eneng di Sukabumi
Eneng, 14 tahun, dikenal sebagai siswi rajin dan berprestasi di sekolahnya, MTs Negeri 3 Cikembar. Cita-citanya sederhana tapi tinggi: ingin menjadi dokter. Namun, pada Selasa malam, 28 Oktober 2025, hidupnya berakhir tragis. Neneknya yang hendak mengambil air menemukan tubuh sang cucu tergantung di pintu kamar.
Kabar itu membuat keluarga terpuruk. Ayahnya yang bekerja di Kalimantan segera pulang untuk mengantarkan putri bungsunya ke tempat peristirahatan terakhir.
“Dia anak yang sopan, rajin, salatnya tidak perlu disuruh. Kami tidak menyangka sama sekali,” tutur Topik Walhidayat, pamannya.
Sebuah surat ditemukan di kamar Eneng, ditulis dengan campuran bahasa Sunda dan Indonesia. Dalam surat itu, Eneng menulis betapa ia merasa lelah dengan perlakuan teman-temannya di sekolah.
“Eneng sudah capek… Eneng cuma mau ketenangan.”
Keluarga menduga kuat Eneng menjadi korban perundungan (bullying). Sang ibu bahkan sempat melaporkan dugaan tersebut ke wali kelas dua minggu sebelum tragedi terjadi. Namun, aduan itu tak berbuah tindakan nyata.
Pihak sekolah membantah adanya bullying, menyebut Eneng sebagai siswi aktif dan berprestasi. Namun, pengakuan keluarga dan temuan surat membuat kasus ini menjadi sorotan serius. DPRD Kabupaten Sukabumi menilai peristiwa ini sebagai “tamparan keras” bagi daerah yang selama ini mengklaim sebagai “kabupaten ramah anak”.
Dua Kasus Serupa di Sawahlunto
Beberapa hari setelah tragedi Sukabumi, dua pelajar SMP di Sawahlunto juga ditemukan meninggal dunia di lingkungan sekolah mereka: Bagindo Evan (15) dan Arif Nofriadi (14).
Kematian Bagindo
Bagindo ditemukan tak bernyawa di salah satu ruang kelas. Ayahnya, Agusman, masih tak percaya.
“Dia anak yang baik, banyak teman, tidak punya masalah dengan siapa pun,” ujarnya lirih.
Kronologi dari pihak sekolah menyebut Bagindo sempat izin ke toilet saat pelajaran IPA, namun tak kembali. Teman-temannya menemukannya tergantung di kelas. Polisi menyatakan tak ditemukan tanda kekerasan. Namun keluarga menyayangkan lambannya respon sekolah — bahkan tidak ada guru yang mendampingi saat jasad anaknya dibawa ke Puskesmas.
Sebelum kejadian, Bagindo sempat mengalami kecelakaan motor dengan guru Bahasa Inggrisnya. Sejak itu, ia tampak berubah dan sering bekerja serabutan. Ayahnya menduga tekanan ekonomi dan rasa bersalah mungkin menjadi beban berat yang tak sanggup ia tanggung.
Kematian Arif
Kasus serupa terjadi awal Oktober. Arif, siswa kelas 9 di SMP Negeri lain di Sawahlunto, mengakhiri hidup di ruang OSIS sekolah.
Ibunya, Monalisa, mengenang hari itu dengan getir.
“Sore harinya dia sempat memeluk saya lama sekali. Saya tak tahu itu perpisahan terakhir,” katanya.
Polisi menyimpulkan Arif bunuh diri karena masalah asmara dengan pacarnya yang juga siswi di sekolah yang sama. Namun sang ibu masih menyimpan tanya, terutama soal lebam di wajah anaknya. Polisi berpendapat luka itu akibat terbentur meja saat kejadian.
Fenomena yang Mengkhawatirkan
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 25 kasus bunuh diri anak sepanjang 2025. Jumlah ini memang turun dari 43 kasus pada 2024, tapi angka tersebut tetap tinggi dan mengkhawatirkan.
Sebagian besar korban mengalami tekanan sosial dan perundungan, terutama di lingkungan sekolah.
Mengapa Remaja Rentan?
Psikolog Retno Lelyani Dewi menjelaskan, tindakan bunuh diri jarang muncul tiba-tiba. Itu adalah puncak dari akumulasi tekanan, rasa kesepian, dan ketidakmampuan mengelola stres.
“Remaja tahu apa itu sakit hati dan kesepian, tapi belum punya kemampuan penuh mengendalikan emosi. Saat badai datang, mereka mudah kehilangan kendali,” ujarnya.
Faktor lain datang dari keluarga dan pola asuh. Menurut dosen psikologi Universitas Pancasila, Aully Grashinta, banyak anak tidak dibiasakan menghadapi masalah.
“Ketika gagal atau kecewa, mereka tidak punya ketahanan mental. Akibatnya, memilih cara cepat: mengakhiri hidup.”
Sementara Fitri Yanti dari Universitas Fort De Kock Bukittinggi menyoroti peran lingkungan dan media sosial. Generasi muda kini tumbuh di era instan, di mana ekspektasi tinggi tidak diimbangi kemampuan bertahan terhadap tekanan.
Tanda-Tanda yang Sering Terlewat
Psikolog mengingatkan orang tua dan guru agar lebih peka. Perubahan perilaku mendadak, menarik diri dari pertemanan, atau ucapan seperti “aku capek, mau mati rasanya” harus dianggap serius.
“Kadang mereka tidak butuh nasihat, cukup seseorang yang mau mendengarkan,” kata Retno.
Ia juga menekankan pentingnya pendampingan psikologis di sekolah serta keberadaan peer counselor, tempat siswa bisa bercerita tanpa takut dihakimi.
Menutup Luka Sosial
Kasus bunuh diri tiga remaja ini bukan sekadar berita tragis — tapi cermin bahwa banyak anak hidup dalam tekanan yang tidak terlihat. Di balik nilai bagus dan senyum mereka, bisa tersembunyi luka yang dalam.
Dan di negeri yang mengaku ramah anak, kematian mereka seharusnya menjadi peringatan: bahwa empati, perhatian, dan ruang aman untuk berbagi adalah kebutuhan yang sama pentingnya dengan nilai rapor.
Jika Anda atau orang terdekat memiliki pikiran untuk mengakhiri hidup, segera hubungi tenaga kesehatan jiwa di Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat, atau layanan Halo Kemenkes di 1500567.
Kehidupan selalu punya harapan — bahkan ketika terasa gelap.
sumber BBC







Komentar