Mungkin banyak yang bertanya-tanya: mengapa orang kulit putih ini begitu lantang dan berani membela Palestina, bahkan lebih berani daripada beberapa Muslim sendiri?
Dua minggu lalu, nama Gustavo Petro, presiden Kolombia, menjadi berita utama karena pembelaannya yang blak-blakan terhadap PALESTINA di Sidang Umum PBB.
Seminggu yang lalu, Greta Thunberg mendominasi berita. Ia telah lama menjadi selebritas, tetapi banyak yang baru mengenalnya.
Beberapa orang begitu berlebihan hingga membandingkannya dengan seorang nabi. Mastikaisme (kebiasaan mengarang cerita untuk memahami hal-hal yang kita anggap luar biasa) masih kuat di masyarakat.
Tetapi pertanyaannya adalah: apakah orang-orang ini bertindak atas dasar “kemanusiaan” semata?
Sebenarnya, kemanusiaan itu terlalu umum. Ia tidak cukup kuat untuk membuat seseorang rela mempertaruhkan nyawa atau kenyamanannya sendiri.
Mereka juga tidak didorong oleh agama. Kolombia adalah negara Kristen Katolik, tetapi mereka tidak pernah memiliki presiden seperti Petro.
Greta berasal dari Swedia. Meskipun Swedia adalah negara Kristen dengan denominasi resmi (Protestan-Lutheran), masyarakatnya sangat sekuler. Orang jarang membicarakan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Yang sebenarnya mereka dorong adalah IDEOLOGI.
Ideologi ini maksudnya sistem kepercayaan yang jadi panduan hidup, terutama dalam politik, ekonomi, dan sosial.
Di Malaysia, kebanyakan orang tidak benar-benar memiliki ideologi. Pandangan politik dan ekonomi lebih didorong oleh agama dan identitas (Melayu, Tionghoa, India, Kalimantan).
Namun di Barat, ideologi adalah hal yang penting. Ketika mereka muda, mereka mulai mencari makna hidup dengan mengidentifikasi ideologi yang ingin mereka pegang.
Beberapa cenderung ke arah ideologi sayap kanan, seperti konservatisme.
Contohnya, Charlie Kirk yang baru-baru ini ditembak. Ia seorang konservatif, dan ia selalu berargumen hanya untuk meyakinkan anak muda agar menjadi konservatif seperti dirinya.
Di Amerika Serikat, Eropa, Amerika Latin, Australia, atau Selandia Baru, kelompok pro-Palestina biasanya bukan berasal dari kelompok konservatif seperti Charie.
Sebaliknya, mereka berasal dari kelompok sayap kiri seperti sosialis, komunis, atau pendukung “politik hijau”.
Petro, misalnya, adalah seorang sosialis. Bahkan, ia adalah presiden sosialis pertama dalam sejarah Kolombia.
Hingga saat ini, Kolombia didominasi oleh sayap kanan, sehingga kebijakan luar negerinya pro-Amerika dan pro-Israel. Bahkan, Kolombia adalah negara Amerika Latin terakhir yang mengakui Palestina (baru pada tahun 2018).
Namun ketika Petro berkuasa, ia langsung mengubah kebijakan luar negeri Kolombia. Ia lantang mengkritik Israel, membela Palestina, dan lebih kritis terhadap Amerika.
Bagi kaum sosialis, semua ini hadir dalam satu paket: anti-Amerika, anti-Israel, pro-Palestina.
Kaum sosialis ini idealnya ingin membangun masyarakat yang adil dan setara. Mereka menganggap kapitalisme sebagai penyebab utama ketidakadilan dunia.
Amerika juga dianggap sebagai simbol kapitalisme global. Dan secara historis, Amerika telah banyak campur tangan dalam urusan Amerika Latin untuk melindungi kepentingan kapitalisnya.
Itulah sebabnya, bagi kaum sosialis di Amerika Latin, Amerika adalah simbol penindasan; dan Israel, sebagai sekutu utama Amerika, dipandang sebagai bagian dari sistem kapitalis-imperialis.
Jadi, ketika mereka menentang Israel dan membela Palestina, itu bukan sekadar simpati kemanusiaan, tetapi simbol komitmen ideologis mereka untuk menentang kapitalisme dan penindasan global.
Itu memang “keyakinan” mereka, bukan drama, bukan gimmick.
Hal yang sama berlaku di Eropa. Negara yang paling vokal membela Palestina saat ini adalah Spanyol, yang dipimpin oleh seorang sosialis bernama Pedro Sanchez.
Sementara itu, Italia dipimpin oleh Giorgia Meloni, seorang konservatif sayap kanan. Itulah sebabnya ia lebih sejalan dengan sikap Amerika, dan tidak mengakui Palestina meskipun rakyatnya sendiri mendesaknya.
Greta Thunberg lebih dekat dengan gerakan hijau-kiri, bukan seorang sosialis, melainkan pendukung “politik hijau” atau “environmentalisme” yang memperjuangkan keberlanjutan lingkungan.
Hal itulah yang membuatnya terkenal sejak awal. Dalam Konferensi Lingkungan Hidup PBB 2019, ia mengecam negara-negara Barat karena tidak menjaga lingkungan, mengulang frasa “Beraninya kau”.
Ideologi hijau inilah yang juga menghubungkan Greta dengan semangat anti-imperialisme.
Bagi kelompok hijau seperti Greta, negara-negara kapitalis adalah penyebab kerusakan dan ketidakadilan dunia.
Ia selalu menggunakan istilah “Global Utara”, merujuk pada negara-negara maju di belahan bumi utara seperti Eropa dan Amerika Serikat.
Bagi para aktivis lingkungan seperti Greta, keserakahan Global Utara mengejar keuntungan ekonomi hingga merusak lingkungan dan menindas orang lain.
Jadi, ketika Greta bergabung dengan armada ke Gaza, itu adalah bagian dari “pernyataan nyata”-nya, melawan ketidakadilan dunia.
Semangat itu berasal dari ideologinya. Jika hanya tentang faktor “kemanusiaan”, kebanyakan orang hanya akan bersimpati atau berdonasi, bukan bertindak.
Namun, berkat “kekuatan ideologi”, orang Barat dapat menunjukkan solidaritas sejati dengan rakyat Palestina.
(Oleh: Ayman Rashdan Wong)
*Analis Internasional dari Malaysia







Komentar