MBG Sudah Masuk “Kejahatan” Boleh di Tuntut Gak?

Korban Keracunan Makan Bergizi Gratis Bisa Gugat Pemerintah?

Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menjadi sorotan publik. Program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming itu dilaporkan menimbulkan lebih dari 5.000 kasus keracunan di 16 provinsi. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apakah para korban bisa menempuh jalur hukum untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah?

Sejumlah siswa mengaku mengalami pusing, mual, hingga sakit perut usai menyantap menu MBG di sekolah. Salah satunya Nazwa, siswi SMA Negeri 7 Baubau, Sulawesi Tenggara, yang harus dirawat di puskesmas setelah memakan kari ayam yang disebut sudah berbau tak sedap. Di sekolah itu, tercatat 46 siswa mengalami gejala serupa dan sebagian terpaksa menjalani perawatan medis. Kasus serupa ternyata juga muncul di berbagai daerah lain, mulai dari Kalimantan Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Yogyakarta. Hasil uji laboratorium bahkan menemukan bakteri berbahaya seperti E. coli dan Staphylococcus pada makanan yang dikonsumsi para siswa.

Menurut Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, Sri Raharjo, kejadian berulang ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam penyediaan MBG, mulai dari tahap pengolahan hingga distribusi. Ia menegaskan bahwa makanan yang sudah dimasak seharusnya tidak disimpan lebih dari empat jam agar tidak menjadi media pertumbuhan bakteri. Sri mendesak pemerintah memperketat pengawasan, melakukan audit berkala, dan berani menjatuhkan sanksi kepada penyedia yang terbukti lalai.

Dari sisi hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai masyarakat memiliki dasar kuat untuk menggugat pemerintah. Advokat Arif Maulana menjelaskan, kerugian materiil maupun immateriil yang dialami para korban dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam praktiknya, gugatan bisa diajukan melalui mekanisme class action, yakni gugatan bersama yang diajukan kelompok masyarakat dengan kepentingan serupa, atau melalui citizen lawsuit yang lebih menekankan pada kewajiban pemerintah memperbaiki kebijakan. Hanya saja, pengalaman menunjukkan putusan pengadilan seringkali tidak dijalankan pemerintah. Ia mencontohkan kasus pencemaran udara Jakarta yang sudah dimenangkan warga hingga tingkat kasasi, namun implementasinya masih jauh dari harapan.

Di sisi lain, kritik tajam juga datang dari kalangan pengamat kebijakan publik. Joko Susilo dari Nalar Institute menilai MBG sejak awal digarap terlalu terburu-buru tanpa persiapan matang. Ia menyebut program ini terlalu sentralistik, minim partisipasi masyarakat, dan tidak memiliki standar mutu jelas. Lemahnya pengawasan semakin memperburuk situasi karena pemerintah baru bergerak ketika masalah muncul di lapangan. Menurutnya, MBG adalah janji politik yang ambisius, namun tidak ditopang regulasi dan kelembagaan memadai.

Kritik serupa disampaikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang menemukan banyak anak menerima makanan MBG dalam kondisi basi bahkan berulat. Dari 1.624 anak yang disurvei, lebih dari 500 mengaku pernah mendapat makanan dengan kualitas buruk. KPAI menegaskan program sebaiknya dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh. “Jangan sampai mengejar target, tapi mengabaikan keselamatan anak,” kata Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra.

Meski demikian, pemerintah belum menunjukkan tanda akan menghentikan program ini. Badan Gizi Nasional (BGN) justru membentuk tim investigasi untuk meneliti penyebab keracunan dan memperbaiki sistem distribusi. Situasi ini semakin menegaskan dilema antara kepentingan politik dan keselamatan warga. Data CELIOS menyebut 92 persen responden memilih pasangan Prabowo–Gibran dalam Pilpres 2024 karena janji MBG. Tak heran jika pemerintah berusaha keras menjaga program tersebut tetap berjalan, meski masalah terus bermunculan.

Presiden Prabowo bahkan pernah mengklaim MBG memiliki tingkat keberhasilan 99,99 persen. Namun empat bulan setelah pernyataan itu, ribuan siswa kembali dilaporkan keracunan. Bagi banyak pihak, persoalan ini kini bukan lagi soal pencapaian politik, melainkan dampak nyata terhadap keselamatan anak-anak. Menghentikan sementara program untuk evaluasi dianggap langkah paling rasional, agar cita-cita menyejahterakan rakyat tidak justru berbalik menjadi ancaman bagi generasi muda.

Komentar