Panglima Kodam I Bukit Barisan Mayor Jenderal TNI Rio Firdianto mengklaim tak menemukan penggundulan hutan di Sumatera Utara.
Pernyataan itu disampaikan Rio saat diwawancarai media setelah ia meninjau lokasi bencana banjir dan tanah longsor menggunakan helikopter pada Sabtu, 29 November 2025.
Rio menyebut penyebab utama banjir dan tanah longsor karena curah hujan tinggi yang berlangsung berhari-hari. Akibatnya, tanah menjadi jenuh, lalu longsor. “Jadi banyak pohon-pohon yang memang itu hutan, karena mungkin terlalu deras hujannya sehingga longsor, dan itu terjadi di beberapa titik,” kata Rio Firdianto.
Benarkah bencana banjir dan longsor di Sumatera Utara hanya disebabkan intensitas hujan yang tinggi? Benarkah tidak ada penggundulan hutan di Sumatera Utara?
Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bencana banjir dan longsor di Sumatera tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi.
- Banjir juga terkait erat dengan kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah.
- Selain itu, bukti dari citra satelit dan analisis sistem monitoring hutan nasional Kementerian Kehutanan, hutan alam di Sumatera Utara saat ini tersisa 10-14 juta hektare. Dalam rentang 1990-2024, hutan alam banyak yang beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman.
Penyebab Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera Utara
Penyebab bencana di kawasan utara Sumatera tak berdiri sendiri.
(1) Faktor pertama, cuaca ekstrem akibat siklon tropis Senyar yang melanda wilayah Sumatera bagian utara dan Selat Malaka pada akhir November 2025. Siklon ini meningkatkan intensitas hujan ekstrem di kawasan tersebut.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG Teuku Faisal Fathani mengatakan Indonesia sebetulnya bukan daerah rawan bahaya siklon. Umumnya siklon terjadi di utara atau perairan Pasifik sebelah barat. Siklon terbentuk di utara Papua kemudian melintasi Filipina dan berakhir di Laut Cina Selatan.
Umumnya siklon yang terbentuk tidak akan mendekati khatulistiwa karena efek coriolis atau perputaran bumi yang lemah. Namun karena adanya anomali atmosfer, terbentuklah siklon tropis Senyar di Selat Malaka. Pada saat yang sama, suhu hangat di Selat Malaka membentuk awan hujan yang banyak.
Siklon terjebak di antara dataran tinggi Sumatera serta Semenanjung Malaysia dan berputar di sana. Fenomena itu mengakibatkan hujan lebat terjadi lebih dari dua atau tiga hari hingga 380 milimeter. “Itu hujan satu bulan dijatuhkan dalam satu hari,” ujar Teungku sebagaimana ditulis oleh Tempo edisi 1 Desember 2025.
(2) Faktor kedua, banjir terkait erat dengan kerusakan lingkungan, perubahan tutupan lahan, dan menurunnya kapasitas tampung wilayah.
Dikutip dari laman Institut Teknologi Bandung, dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr. Heri Andreas, S.T., M.T mengatakan persoalan banjir tak hanya tentang hujan. Melainkan juga tentang bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi.
Sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi). Sisanya mengalir ke permukaan atau runoff. Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah.
Menurut Heri, kawasan dengan tutupan vegetasi alami seperti hutan dan rawa memiliki kemampuan serapan air yang jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah yang telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan, atau area terbuka tanpa vegetasi.
Saat kawasan itu terdegradasi, kemampuan infiltrasinya menurun signifikan dan menyebabkan peningkatan runoff yang jauh lebih besar. Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah itu kehilangan kemampuan menahan limpasan. “Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” kata dia.
Heri menegaskan perlindungan kawasan resapan air alami seperti hutan, rawa, dan sempadan sungai sangat penting. Kawasan tersebut dapat menjaga kapasitas wilayah dalam menyerap air dan mengurangi limpasan.
Hilangnya Hutan Alam di Sumatera Utara
Menurut Global Forest Watch dari 2002 sampai 2024, Sumatera Utara kehilangan 390 kilo hektare hutan primer basah. Adapun hilangnya tutupan hutan dari 2001 hingga 2024 mencapai 1,6 juta hektare dan menghasilkan emisi 810 juta ton COe.
Analisis Greenpeace Indonesia berdasarkan sistem monitoring hutan nasional Kementerian Kehutanan menunjukkan hutan alam di Sumatera Utara saat ini tersisa 10-14 juta hektare. Dalam rentang 1990-2024, hutan alam di provinsi itu banyak yang beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman.
Alih fungsi ini mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) menjadi kritis. Salah satu DAS yang rusak parah, menurut Greenpeace, ialah DAS Batang Toru yang meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. DAS Batang Toru adalah benteng hutan tropis terakhir di Sumatera Utara.
Analisis Greenpeace menunjukkan, selama periode 1990-2022, deforestasi di DAS Batang Toru mencapai 70 ribu hektare atau 21 persen dari luas keseluruhan. Kini luas hutan alam yang tersisa di kawasan DAS Batang Toru sebesar 167 ribu hektare atau 49 persen.
Alih fungsi hutan di kawasan DAS Batang Toru muncul setelah terbitnya berbagai perizinan berbasis lahan dan ekstraktif. Luasan perizinan tersebut mencapai 94 ribu hektare atau 28 persen. Sebagian besar berupa perizinan berusaha pemanfaatan hutan, wilayah izin usaha pertambangan, dan perkebunan kelapa sawit.
Tempo mencocokkan dengan data satelit perubahan bentang alam di DAS Batang Toru menggunakan Google Earth dan Google Map pada tahun 2001, 2020, dan 2025 sebagai berikut:

Tempo telah meminta konfirmasi melalui pesan dan telepon kepada Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan Kolonel Infanteri Asrul Kurniawan Harahap. Namun hingga Jumat siang, 5 Desember 2025, ia belum memberikan jawaban.
(Sumber: TEMPO)







Komentar