Mau tahu bagaimana ‘two state solution’ itu dilakukan? Lihat Timor Leste!

Media-media Indonesia yang melintas di lini masa saya pada umumnya menulis dengan nada bangga: Presiden Indonesia berpidato di Sidang Umum PBB. Itu biasa. Yang luar biasa: pakai bahasa Inggris! Kayaknya mongkog luar biasa karena presidennya bisa berbahasa Inggris.

Orang kemudian ingat bahwa Indonesia selama 10 tahun absen dari SU PBB. Presiden terdahulu, yang suka ‘wok de tok, not onle tok de tok’ (misih inget?) memang tidak pernah datang ke PBB. Kabarnya dia fokus ke dalam negeri (dan ke China, tentu saja).

Presiden Prabowo tentu saja lain. Dia menempuh pendidikan dasar dan menengah di sekolah internasional. Bahasa Inggris adalah bahasa keduanya. Makanya, dia bisa berpidato dengan berapi-api di depan sidang bangsa-bangsa itu. Dan yang membanggakan adalah dia mengangkat isu Paletina.

Sebuah media memakai judul bombastis, “Prabowo Gebrak Meja di PBB, Serukan Pengakuan Palestina dan Syarat Akui Israel.” Gagah dan penuh kebanggaan.

Tapi, ya begitulah. Retorik selalu menyembunyikan detail. Saya setuju dengan para pengamat yang mengatakan bahwa pidato presiden ini miskin substansi. Indonesis sudah mengakui negara Palestina sejak 1988. Sama seperti China. Namun tidak seperti Indonesia, pidato China lebih berisi: minta supaya PBB menjadikan Palestina sebagai anggota. Ini langkah maju dari sekedar merdeka secara de facto. Ini adalah permintaan pengakuan legal. Palestina harus secara legal menjadi negara merdeka — jadi anggota PBB adalah salah satu syaratnya.

Pada intinya, Prabowo minta Israel untuk mengakui negara Palestina sebagai syarat bagi Indonesia untuk mengakui Israel sebagai sebuah negara. Israel sudah menjadi anggota PBB sejak 1949 ketika ia mendeklarasikan kemerdekaannya.

Apakah semudah itu mengakui negara Israel? Ya tentu tidak. Ada banyak persoalan yang sangat rumit disana. Inti dari konflik Israel-Palestina adalah soal tanah. Bagaimana dengan tanah-tanah rakyat Palestina yang dicaplok Israel? Kita tahu dari tahun ke tahun sejak 1949, wilayah Palestina semakin menyusut sementara luas Israel terus bertambah.

Bagaimana dengan kerugian-kerugian lain yang diderita rakyat Palestina akibat pendudukan Israel? Bagaimana dengan akuntabilitas penguasa Israel yang melakukan genoside di Gaza dan juga sebelumnya di Tepi Barat?

Ada banyak soal yang amat rumit disana. Itu tidak bisa diselesaikan dengan menggebrak podium. Juga tidak bisa diselesaikan dengan pidato berapi-api melewati waktu 5 menit yang disediakan sehingga mikrofon dimatikan, tapi tetap nambah semenit lebih tanpa mikrofon.

Untuk para politisi, Palestina adalah komoditi. Itu selalu terjadi. Sementara untuk masyarakat sipil, Palestina adalah tragedi. Sebuah pertunjukan telanjang tentang hancurnya nilai-nilai kemanusiaan karena fasisme.

Belum lama setelah Presiden Prabowo berpidato, ada kawan lama mengirim pesan kepada saya. “Mau tahu bagaimana ‘two state solution’ itu dilakukan?” tanyanya. Lalu dijawabnya sendiri, “Lihat Timor Leste!” Apakah terlalu sulit untuk memahami bagaimana Indonesia menginvasi negara kecil ini dan menjadikannya provinsinya.

Namun wilayah kecil ini tidak pernah berhasil ditaklukkan sepenuhnya. Prabowo sendiri menghabiskan bertahun-tahun karir militernya disana. Hasilnya? Timor Leste menjadi negara sendiri. Kecil namun berdaulat. Tidak kaya namun bermartabat. Bukankah rakyat Palestina ingin seperti itu juga?

Juga persis ketika Prabowo berpidato, di lini masa saya berseliweran tanggapan dari orang-orang Papua yang berdiplomasi untuk kemerdekaan negaranya. Two state solution untuk Palestina? Mengapa itu tidak ditawarkan juga oleh Indonesia kepada Papua?

Sampai disana, kepala saya pusing. Mau menyelesaikan masalah orang lain, kok aib kita sendiri yang terbuka lebar. Sudah benar presiden mantan yang bilang, “We not onle tok de tok but we wok de tok.” … Sekalipun ijasahnya nggak ketahuan dimana (mungkin juga ga ada), kali ini dia benar. Bicara yang benar, tidak butuh ijazah kan? Plethok!

(Made Supriatma)

Komentar