πππ§ππ£ππ¦ππ§ πππ ππ«π πππ«πππ¬π’π¬ “ππ’π«π-π€π’π«π”
βπ»Arsyad Syahrial
Pernyataan “Saya kira rakyat masih tegar. Saya disambut dengan sangat baik”, asli membuat saya terngangaβ¦
Bagaimana tidak?
Sebab itu bukan sekadar “slip of the tongue” (kepleset lidah), melainkan sinyal bahaya dalam tata kelola krisis (crisis management) di level tertinggiβ¦!
Rakyat tegar atau tidak, sabar atau tidak, itu bukan objek tafsir perasaan, melainkan fakta sosial yang wajib dibaca dari data.
Ada empat kegagalan fatal dalam logika “saya kira” ini:
Pertama, penguasa itu bukan pengamat perasaan β “Data vs Asumsi”
Frasa “saya kira” adalah bahasa pengamat / komentator politik. Seorang Penguasa itu tak digaji untuk menebak-nebak perasaan rakyat, tapi untuk memastikan kondisi mereka. Pemerintah bekerja memakai angka & data dalam membuat kebijakan, bukan impresi kunjungan singkat.
Parameter ketegaran rakyat pasca bencana itu sebenarnya konkret: daya beli, ketersediaan pangan, sanitasi, hunian layak, dan akses bantuan. Mengganti data objektif dengan perasaan subjektif adalah kebodohan. Kebijakan publik tak boleh dibangun di atas asumsi, melainkan wajib evidence-based policy. Jika asumsinya “rakyat tegar”, maka urgensi bantuan dari negara berisiko bermasalah. Apa yang terlihat ketika rakyat (mungkin setengah dipaksa?) menyambut kedatangan pejabat itu jelas adalah 180Β° dibanding realita di tenda pengungsian.
Kedua, sopan santun & keramahan itu bukan tanda kesejahteraan β “Bias Seremoni”
Mengatakan bahwa kondisi rakyat baik-baik saja ketika merasa disambut dengan baik adalah sesat pikir (fallacy). Kepemimpinan yang matang tak bergantung pada sambutan ramah di lokasi bencana.
Perlu diingat, rakyat Indonesia itu dikenal memiliki budaya santun yang tinggi β mereka tetap beradab dan menghormati tamu meski perut lapar dan rumahnya hancur. Ini dari dulu sudah begitu, lihat saja bagaimana penduduk pedesaan menerima, melindungi, bahkan memberi makan yang baik kepada para pengungsi dari perkotaan saat terjadi Agresi Militer I & II oleh Belanda di masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949.
Menganggap sopan santun seremonial sebagai bukti ketegaran mental adalah bentuk kenaifan yang sangat berbahaya. Penguasa seharusnya mampu melihat melampaui sekedar seremoni β harus bisa membaca apakah yang ada di balik senyum dan lambaian tangan itu adalah kepastian masa depan yang baik?
Bukan malah membiarkan adab rakyat yang baik meninabobokan kewaspadaan penguasa.
Ketiga, romantisasi penderitaan β “Toxic Positivity Penguasa”
Ucapan “saya kira rakyat masih tegar” itu terdengar simpatik, namun sebenarnya sangat mengkhawatirkan!
Bagaimana tidak?
Narasi tersebut secara sadar menormalisasi penderitaan, seolah-olah rakyat yang diam, sabar, dan tak protes, adalah kondisi yang ideal. Dengan melabeli korban sebagai “orang sabar”, maka beban pemulihan seolah digeser dari pundak Pemerintah ke pundak rakyat korban.
Padahal, tugas Pemerintah adalah memastikan rakyat tak perlu “bersabar” terlalu lama dalam penderitaan. Kesabaran rakyat adalah ujian keΔ«mΔnan mereka, akan tetapi kecepatan penanganan adalah ujian kinerja Presiden. Jangan dicampuradukkanβ¦!
Keempat, mengira-ngira perasaan rakyat β “The Absence of Empathy”
Ketika Penguasa mengira-ngira tentang rakyatnya, maka itu itu menunjukkan ketiadaan empati dan jarak antara Istana dengan rakyat. Sebab Penguasa yang masih mengira-ngira berarti adanya jarak yang lebar antara apa yang ada di benak Penguasa dengan realitas yang ada di tenda pengungsian.
Trauma bencana itu kompleks dan seringkali tersembunyi, tak bisa divalidasi hanya lewat kunjungan seremonial sesaat walaupun 2-3kali dalam waktu sepekan. Penguasa harus berkantoor di daerah bencana. Adapun mengira-ngira ketegaran seseorang yang baru saja kehilangan harta benda adalah bentuk simplifikasi psikologis yang abai. Rakyat tidak butuh ditebak ketegarannya. Pernyataan seperti ini justru menunjukkan ketiadaan sensivitas terhadap trauma mendalam yang mungkin tak tampak di permukaan saat penyambutan pejabat.
Mitigasi bencana itu menuntut kepastian, bukan asumsi. Rakyat butuh Penguasa yang berkata “Saya tahu datanya, kondisinya memang berat, dan ini langkah konkretnya⦔, BUKAN yang mengatakan “Saya kiraβ¦ saya kira⦔.
Mencampuradukkan perasaan subjektif dengan tugas negara bukanlah empati, melainkan kegagalan membaca prioritas.
Demikian.







Komentar