KORUPSI KERETA CEPAT

KORUPSI KERETA CEPAT

🔴Lihat tabel perbandingan di atas secara saksama, agar kita bisa mempelajari kasus ini dengan baik, sesuai data dan fakta.

Sudah? Baik, mari kita bahas.

1. Jepang, sudah melakukan studi detail sejak 2008. Mereka sudah full power, lengkap sekali studinya. Kelemahan mereka: harga lebih tinggi, transfer teknologi tertutup, jaminan APBN. Keunggulan, mereka bahkan memasukkan stasiun Gambir dan Bandung loh, stasiun bawah tanah, gilak 🙂

2. China, baru masuk ikutan tender 2014, setahun sebelum keputusan. Mereka super PD dong naruh harga lebih murah. Bilang ada transfer teknologi. Tanpa jaminan APBN (yang jadi senjata terbesar argumen pemerintah). Tapi kelemahan terbesarnya: lah, situ tidak ada studi detail kok bisa PD? Dan bunga pinjamannya 2%. Itu tuh 20x lipat dari Jepang. Bego sekali pejabat keuangan kita dulu.

3. Lantas pemerintah menyewa konsultan besar, BCG. Dibayar 2 miliar. Apa kesimpulan BCG? Tolak proposal China, risiko terlalu tinggi.

4. Pengamat-pengamat sudah bilang, proposal China itu terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bahkan Jonan Ignasius, ‘Bapak reformasi kereta’ pun tersingkir dari posisi Menteri.

5. Pemerintah tetap tutup mata, tutup kuping, 16 September 2015, mereka memutuskan: China.

    Sisanya, kalian tahu sendiri deh.

    1. Biaya bengkak Rp 116 triliun (lebih mahal dibanding Jepang)
    2. Pinjaman membengkak.
    3. Dijamin sama pemerintah juga deh.
    4. Bunga 2 triliun per tahun.

    Maka,

    1. Jika kebijakan impor gula saja masuk pasal korupsi (kasus Tom Lembong), pengadaan laptop diproses (kasus Nadiem), pun keputusan beli kapal ASDP (kasus Ira Puspadewi) juga masuk korupsi, JELAS SEKALI kereta cepat ini korupsi. Merugikan negara!

    2. Tapi.. tapi.. tapi… LRT, MRT, Busway disubsidi tuh? Memang. Karena itu “infrastruktur dasar”, mengatasi kemacetan. Lah kereta cepat? Beda banget. Nah, jika kamu mau pakai logika subdisi negara, silahkan. Tapi kasus kereta cepat itu bukan hanya itu. Melainkan: pembohongan publik! Penipuan kebijakan. Katanya 100% B2B (bisnis to bisnis), katanya bla bla. Ternyata beda semua.

    3. Pemerintah jelas tahu risiko ini, dan sudah dapat warning, tapi mereka tetap maksa.

      Di negara yang hukum berlaku adil, itu lebih dari cukup buat menjebloskan orang-orang ini ke penjara.

      Demikian.

      (TERE LIYE)

      Komentar