Di tengah situasi yang serba tak menentu, KPU menambahi kisruh. KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 731 tahun 2025 tentang 16 dokumen Capres-Cawapres, yang tak boleh dibuka ke publik, kecuali atas restu tertulis yang bersangkutan. Baru sehari keputusan itu, sudah dicabut pula. Ini benar-benar di luar kebiasaan.
Seperti kata mantan Ketua KPU Arief Budiman, bahwa prinsip utama kerja KPU itu sebetulnya transparansi. Siapa pun yang datang ke kantor KPU, lalu meminta sesuatu yang terkait dengan data-data, kalau tak dipenuhi, maka KPU boleh dibilang sudah tidak transparan lagi. Karena tak ada persoalan yang tak bisa dijawab.
Artinya, sepanjang data-data itu ada di KPU dan diperuntukkan untuk memastikan sebuah kebenaran, data-data itu layak diberikan. Keputusan KPU Nomor 731 tahun 2025 itu jelas-jelas membatasi KPU untuk bersikap transparan, mestinya itu menyalahi prinsip dari KPU itu sendiri. Setelah diprotes, baru dicabut.
Sebetulnya, tak ada masalah dengan 16 dokumen yang dirahasiakan atau tak boleh dibuka ke publik, kecuali atas restu yang bersangkutan itu. KTP, Akta Kelahiran, SKCK, termasuk ijazah, dan segala macam itu. Mau ditambah 8 dokumen lagi juga tak masalah seperti Surat Nikah Istri Pertama dan Kedua, dan seterusnya.
Selama ini juga tak ada masalah. Lancar-lancar saja. Masalahnya justru kinerja KPU itu sendiri ketika memverifikasi dokumen-dokumen itu yang bermasalah dan tak lagi dipercaya. Masak buron bisa lolos pencalonan dan menang pula. Atau orang yang tak punya ijazah, di-Acc punya ijazah asli dan lulus kuliah.
Keputusan KPU No 371 tahun 2025 ini seperti upaya cuci tangan anggota KPU atas kisruh yang terjadi belakangan ini, terutama soal dugaan ijazah palsu Jokowi dan Gibran, dan mungkin juga yang lainnya.
Baru-baru ini terungkap anggota DPRD Wakatobi ternyata seorang buron selama 11 tahun dan ia bisa duduk sebagai anggota DPRD. Entah seperti apa verifikasi terhadap pencalonannya dulu? Aparat seperti tak tahu menahu pula.
Yang paling banyak apalagi kalau bukan soal ijazah palsu. Dengan banyaknya dokumen pencalonan yang tak bisa dibuka ke publik, maka potensi masalah juga akan makin banyak. Dan pemimpin kita makin menjadi misteri justru bagi kita sendiri. KPU benar-benar aneh dan tak tahu apa yang mau dikerjakan.
Kalau Keputusan KPU Nomor 371 tahun 2025 itu bermaksud membenarkan sikap mantan Presiden Jokowi yang tak mau memperlihatkan ijazahnya ke hadapan publik, dengan alasan dokumen pribadi, bukan dokumen publik, keputusan KPU itu seperti terlambat.
Bukankah kasus itu sudah berlangsung lama dan hukum tak berlaku surut? Ataukah keputusan KPU Nomor 731 ini untuk menghindari tuntutan pihak penggugat ijazah Wapres Gibran baru-baru ini, agar mereka tak meminta KPU untuk membukanya tanpa restu dari yang bersangkutan?
KPU seperti tak mau dipersalahkan dan lepas tangan atas kinerjanya yang dianggap sudah selesai, padahal belum.
Hendak merahasiakan 16 dokumen pencalonan, termasuk daftar riwayat hidup, lalu bagaimana pula pemilih bisa menilai rekam jejak antara satu calon dengan calon lain, mana yang lebih baik dan lebih unggul?
Di tengah tingkat kepercayaan terhadap penyelenggara yang rendah dan mudah disogok, bisa jadi 16 dokumen syarat pencalonan itu menjadi kongkalikong antara para calon dan para penyelenggara. Entah apa sebetulnya urgensi dari Keputusan KPU Nomor 731 tahun 2025 itu?
KPU hendak menjawab kisruh yang sedang terjadi belakangan ini atau hanya sekadar mengantisipasinya karena ada permintaan dokumen tertentu untuk dibuka. Yang jelas Keputusan itu terbukti tak menjawab apa pun dan justru membuat kisruh.
Keputusan KPU Nomor 731 tahun 2025 ini menyadarkan kita bahwa bukan hanya isi keputusannya saja yang bermasalah, tapi juga KPU itu sendiri sebetulnya juga bermasalah.
Kita masih ingat bahwa Ketua KPU saat ini adalah pengganti dari Ketua KPU yang sebelumnya juga bermasalah. Ikan busuk dari kepala. Kalau kepalanya sudah busuk, maka otomatis seluruh badannya juga akan ikut busuk.
Maka sebetulnya yang perlu dipertanyakan bukan isi Keputusan KPU Nomor 731 tahun 2025 yang sudah dicabut itu, tapi keberadaan KPU itu sendiri. Bukan mustahil kita sebetulnya tak memerlukan lagi KPU yang aneh-aneh seperti saat ini.
Sebetulnya memang kalau sistem Pemilunya dibuat lebih sederhana tanpa menghilangkan substansi demokrasinya, bisa jadi kita tak lagi memerlukan KPU yang aneh-aneh seperti saat ini.
KPU dibuat ad hoc saja, tak lagi permanen. Direkrut dua tahun sebelum Pemilu dilaksanakan dan direkrut dari masing-masing peserta Pemilu saja. Ini agar anggota KPU tak menjadi tim sukses bagi salah satu atau malah salah dua dari peserta Pemilu. Otomatis, perilaku sok-menyogoknya bisa ditekan atau hilang sama sekali.
Pokoknya, semua masalah yang ada pada Pemilu kita, sebetulnya awal dan akhirnya berada di tanganKPU itu sendiri. Keputusan KPU Nomor 731 tahun 2025 itu adalah bukti terakhir bahwa KPU ada persoalan dan mempermalukan diri sendiri.
(Oleh: Erizal)







Komentar