Ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer II, di mana ibu kota Republik Indonesia ini berhasil diduduki Belanda setelah serangan mendadak, dan para pemimpin RI seperti Soekarno-Hatta ditangkap, muncul suara dari pedalaman Aceh yang menegaskan bahwa Republik masih ADA, suara itu berasal dari Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah lewat Radio Rimba Raya, suara dari Aceh itu juga salah satu dasar digelarnya KMB di Den Haag.

Di tengah-tengah bencana ekologis yang menghantam Pulau Sumatera, termasuk Aceh, tiba-tiba muncul potongan video terkait peran sentral Aceh selama masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Video menampilkan wajah seorang pria bule.
Selain menjelaskan bagaimana peran Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sang naraton juga ingin bilang: jangan melupakan Aceh!
Dia bilang begini:
“Aceh, suara dari hutan yang menyelamatkan Indonesia. Jangan pernah melupakan sejarah ini. Saat Indonesia nyaris runtuh, Aceh bangkit!
Tahun 1948, Belanda datang lagi lewat Agresi Militer ke-2. Jakarta jatuh, Yogyakarta diduduki. Semua pemancar radio Indonesia dihancurkan. Dunia mengira: Indonesia sudah mati!
Tapi, dari kedalaman hutan lebat Gayo, dari jantung bumi Aceh Tengah, muncul satu suara yang mengguncang dunia. Radio Rimba Raya! Inilah napas terakhir republik. Inilah suara kemerdekaan.
Radio ini milik TNI Divisi X yang dipimpin oleh Kolonel Husein Jusuf, dibeli dari Singapura, diselundupkan, dan disembunyikan di tengah hutan. Aceh tidak hanya menyediakan tempat. Aceh menyediakan nyawa, akal, dan keberanian. Radio ini mengudara dalam bahasa Inggris, Belanda, Arab, Urdu, dan Mandarin.
Dari 23 Agustus hingga 2 November tahun 1949, dunia mendengar kabar dari hutan Aceh: Indonesia belum kalah. Republik masih hidup.
Belanda kebakaran jenggot. Radio Hilversum di Belanda yang menyebar propaganda kekalahan Indonesia, dibungkam oleh kebenaran dari Aceh.
Dan karena suara dari Aceh itulah, Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Den Haag. Di sanalah Belanda dipaksa mengakui: Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.
Tanpa Aceh, dunia tak akan tahu bahwa Republik masih ada. Tanpa Aceh, tidak akan ada diplomasi udara yang menyelamatkan nama Indonesia. Aceh adalah benteng terakhir! Aceh adalah penjaga nyawa republik. Aceh bukan sekadar wilayah, tapi pondasi sejarah bangsa.
Radio Rimba Raya bukan hanya alat komunikasi, ia adalah suara Aceh yang menyalakan kembali semangat nasional. Ia adalah cikal bakal Voice of Indonesia, dan bukti bahwa Aceh tak pernah diam saat negeri ini terancam.
Hari ini kita boleh punya teknologi canggih, tapi dulu Indonesia bertahan karena keberanian Aceh. Aceh, suara dari hutan yang menyelamatkan.”
***
Agresi Militer Belanda membuat Indonesia babak belur, tapi bukan berarti Indonesia telah habis. Pada masa inilah Belanda berhasil mengambil alih Yogyakarta yang ketika itu adalah ibu kota Indonesia. Jakarta? Sudah lebih dulu jatuh.
Tapi di tengah kondisi darurat seperti itu, masih ada Aceh. Sebagaimana disebut dalam narasi di atas, “Aceh adalah napas terakhir Republik Indonesia!”
Pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh
Salah satu yang paling diingat dari Aceh adalah ketika rakyatnya menyumbang dana yang kemudian digunakan untuk membeli pesawat terbang.
Pesawat terbang itu lalu dimanfaatkan untuk mengangkut obat-obatan dari India yang dibawa ke Kota Yogyakarta, mengingat banyak tentara Indonesia yang mengalami luka akibat agresi Belanda.
Menurut beberapa catatan, rakyat Aceh dengan suka rela menyumbangkan uang dan emas hingga terkumpul dana senilai 120 ribu dolar Malaya, atau setara 20 kilogram emas. Dana tersebut didapat dari sumbangan rakyat Aceh, terutama dari Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) juga rakyat kecil.
Pesawat yang dibeli dari Singapura itu diberi nama Seulawah RI-001, yang artinya gunung emas. Gunung Emas sendiri adalah salah satu gunung yang terkenal di Aceh.

Tak hanya itu, rakyat Aceh juga menyumbangkan beberapa senjata, makanan, dan pakaian kepada pemerintah Indonesia pada masa Agresi Militer Belanda II.
Juga, sebagaimana disebut di awal, di Aceh-lah Republik Indonesia masih ada, dalam bentuk siaran radio.
Sejak 1946, Aceh sudah memiliki sebuah pemancar radio yang berada di Kutaraja. Setahun kemudian, Aceh kembali membangun pemancar radio di Aceh Tengah dengan nama Radio Rimba Raya.
Kedua pemancar ini berperan besar pada masa perang kemerdekaan, di mana komunikasi tetap berjalan lancar dan pihak Indonesia masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar selama Agresi Militer Belanda II berlangsung.
Tak hanya itu, dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II, para pemimpin Aceh disebut-sebut telah mempersiapkan enam rencana jitu, yaitu:
- Mempersiapkan kekuatan senjata untuk perang gerilya
- Mempersiapkan tambahan senjata dari luar negeri
- Mempersiapkan aparat yang sudah mengenal tempat-tempat vital, seperti lapangan udara, pemancar radio, dan sebagainya
- Mempersiapkan dana yang diperlukan untuk biaya pertahanan Aceh
- Mempersiapkan logistik dan menentukan lokasi jika terjadi perang gerilya
- Mempersiapkan lokasi baru bagi pasukan untuk berjaga-jaga kemungkinan Aceh direbut oleh Belanda
Rencana-rencana tersebut berhasil menghadapi Agresi Militer Belanda II, dibuktikan dengan tidak dikuasainya Aceh oleh Belanda.
Peran Radio Rimba Raya
Peran Radio Rimba Raya termaktub dalam sebuah monumen, Tugu Perjuangan Radio Rimba Raya, yang terletak di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Begini narasinya:
“Saat itu sangat kritis…
Pada tanggal 19 Desember 1948, Ibukota Negara Republik Indonesia Yogyakarta, dikuasai Belanda. Radio Republik Indonesia yang mengumandangkan suara Indonesia Merdeka ke seluruh dunia, tiada lagi mengudara. Radio Belanda Hilversum, secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Sebagian dunia mempercayai berita itu.
Pada saat demikian gentingnya suasana, tanggal 20 Desember 1948 malam, RRR (Radio Rimba Raya) mengudara menembus angkasa memberitakan bahwa Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA masih ada dan Revolusi 1945 masih tetap menyala.
Tanggal 19 Desember 1948, Gubernur Militer Aceh, Langkat ,dan Tanah Karo, dalam sidang Dewan Pertahanan Daerah, antara lain memutuskan, tanggal 20 Desember 1948 pemancar RADIO yang kemudian dinamakan Radio Rimba Raya harus telah mengudara.
Tanah Aceh, DAERAH MODAL REPUBLIK INDONESIA, dalam menghadapi segala peristiwa yang terjadi, mempersiapkan diri mendatangkan sebuah pemancar yang kuat dari luar negeri.
Di Ronga-ronga inilah, akhirnya setelah mengalami proses perjalanan panjang Radio Rimba Raya bermukim, dan tanggal 20 Desember 1948 secara berkala mulai mengudara.”
Radio Rimba Raya (RRR) adalah stasiun radio darurat yang mengudara dari Dataran Tinggi Gayo, persisnya di Kampung Rimba Raya, Kecamatan Pintu Rime. Wilayah itu sekarang menjadi wilayah Kabupaten Bener Meriah. Radio itu disiarkan oleh tentara Divisi X/Aceh yang dipimpin oleh Kolonel Husein Jusuf.
Siaran Rimba Raya disiarkan ke seluruh dunia pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 yang kemudian menjadi dasar digelarnya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Radio terus bersiaran sejak dimulainya Agresi Militer Belanda hingga Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia.
Lewat Radio Rimba Raya disiarkan pesan-pesan perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Karena selain kota-kota penting, Radio Republik Indonesia juga telah dikuasai Belanda.
(Sumber: Intisari)






Komentar