Gelombang demonstrasi pada Agustus lalu meninggalkan jejak panjang: bentrokan antara aparat dan massa, tindakan represif di lapangan, hingga kabar penghilangan sejumlah orang yang hingga kini masih belum jelas keberadaannya. Laporan dari KontraS menambah kegelisahan publik, sebab ada dugaan aparat terlibat langsung dalam hilangnya para demonstran.
Dalam situasi genting ini, masyarakat bertanya-tanya: di mana Menteri HAM Indonesia, Natalius Pigai?
Nama Pigai bukan sosok asing dalam isu hak asasi manusia. Sebelum duduk di kursi menteri, ia dikenal vokal, kritis, dan tak segan menantang kebijakan negara yang dianggap menindas rakyat kecil. Suaranya kerap menggema dalam perdebatan publik, terutama ketika menyangkut isu Papua dan pelanggaran HAM. Namun kini, ketika ia berada di posisi yang seharusnya paling strategis untuk membela hak rakyat, kehadirannya justru terasa senyap.
Alih-alih bicara soal dugaan kekerasan aparat dan hilangnya demonstran, yang muncul justru usulan nyeleneh—seperti membuat lapangan khusus bagi aksi unjuk rasa di kompleks DPR RI. Usulan itu memang terdengar unik, tetapi miskin substansi. Pertanyaan mendasar publik tetap tak terjawab: apakah negara serius melindungi hak warganya untuk bersuara tanpa takut dipukul, ditangkap, atau hilang?
Sebagai pejabat negara, Pigai tentu bisa berargumen bahwa ia bekerja di balik layar. Namun, isu HAM bukan semata soal regulasi, melainkan juga soal moral dan keberpihakan. Suara lantang seorang menteri bukan hanya simbol politik, tetapi juga pesan bahwa negara berdiri di sisi rakyat, bukan di hadapan barisan aparat bersenjata.
Diamnya Menteri HAM justru menciptakan ruang kosong yang berbahaya: publik kehilangan figur yang bisa dipercaya untuk mengawal hak-hak mereka. Apalagi, jika benar ada dugaan penghilangan paksa, kasus ini berpotensi masuk ke kategori pelanggaran HAM berat. Sejarah mencatat, penghilangan orang dalam konteks demonstrasi bukan hal baru di Indonesia—dan setiap kali negara memilih bungkam, luka itu semakin dalam.
Maka wajar jika publik kini bertanya: kemana perginya Natalius Pigai yang dulu lantang membela korban pelanggaran HAM? Apakah jabatan menteri telah meredam idealismenya, atau ia tengah menyiapkan langkah di balik layar yang tak terlihat?
Apapun alasannya, satu hal jelas: rakyat butuh kepastian. Hak asasi manusia bukan isu teknis yang bisa ditunda atau digeser ke meja birokrasi. Ia adalah urusan hidup, martabat, dan keselamatan warga negara.
Dan sampai Menteri HAM berani bersuara lantang, pertanyaan ini akan terus menggema: kemana Menteri HAM Indonesia sekarang?







Komentar