Soedirman, Kader Persyarikatan Yang Jadi Panglima Pertama
Di kalangan warga Muhammadiyah, Jenderal Soedirman itu ibarat gabungan antara ikon, legenda, dan role model yang bikin kita merasa perlu meluruskan kerah baju kalau sedang lewat depan fotonya. Beliau bukan sekadar Panglima Besar. Beliau itu alumni terbaik dari proses kaderisasi ala Persyarikatan yang kadang keras, kadang lembut, tapi selalu berhasil mencetak manusia-manusia bandel dalam kebaikan.
Sebelum dunia mengenalnya sebagai panglima yang memimpin perang gerilya sambil ditandu, Soedirman adalah guru Sekolah Muhammadiyah. Guru beneran. Bukan guru yang lebih sering absen karena jadi caleg. Di sekolah itu ia dikenal suka menegur murid yang malas mandi dan membimbing murid yang semangat belajar sampai jadi makin semangat. Karena pembawaannya yang kharismatik, ia cepat naik pangkat jadi kepala sekolah. Dan semua itu dijalani tanpa drama.
Tidak berhenti di sekolah, Soedirman juga aktif di Hizbul Wathan (kepanduan Muhamamdiyah). Di situlah bakat kepemimpinannya makin terlihat. Orang-orang HW cerita bahwa Soedirman itu pemimpin yang tidak pernah marah tanpa alasan. Tegas, iya. Sabar, iya. Lemah lembut, iya. Kalau ada anak yang suka ngelunjak, bukannya dicubit, ia malah diajak ngobrol sambil diarahkan. Pokoknya gaya khas kader Muhammadiyah yang kalau ngomong nadanya pelan, tapi efeknya dalam.
Lalu datang masa pendudukan Jepang. Banyak orang bingung. Banyak pemuda bingung juga. Tapi Soedirman tidak. Ia masuk PETA dan langsung jadi komandan batalyon. Bukan karena sok gagah, tapi karena semua orang sepakat bahwa beliau memang pantas mimpin. Dari sinilah kemampuan militernya perlahan naik ke permukaan.
Setelah Jepang kalah, Soedirman melakukan sesuatu yang membuat namanya makin harum. Ia memimpin aksi perebutan senjata di Banyumas. Itu keputusan berani. Orang lain mungkin menunggu perintah dari pusat. Tapi Soedirman punya insting khas kader Persyarikatan. Kalau ada kesempatan menegakkan kebenaran, kerjakan dulu, lapor belakangan. Dan insting itu tidak pernah mengecewakan.
Puncaknya terjadi di Ambarawa. Pertempuran yang akhirnya bikin Soedirman jadi bahan omongan se Nusantara. Dengan strategi yang nyaris terdengar seperti hasil renungan panjang sambil minum teh, ia berhasil memukul mundur Belanda. Pasukan rakyat riang. Pimpinan pusat terpukau. Rakyat mulai menyebut namanya dengan nada lebih hormat.
Begitu masuk tahun 1946, negara butuh panglima pertama untuk memimpin pasukan resmi. Perlu dicatat, pada masa itu nama TNI belum ada. Istilah resminya adalah TKR, Tentara Keamanan Rakyat. Soedirman dipilih sebagai Panglima Besar TKR pada 18 Desember 1945. Baru kemudian berubah menjadi TRI pada awal 1946, lalu menjadi TNI pada 1947. Jadi ketika Soedirman terpilih, ia bukan Panglima TNI, melainkan Panglima Besar TKR yang kemudian otomatis memimpin struktur baru berikutnya.
Ada sidang besar. Ada kandidat senior yang pengalaman militernya panjang. Ada juga Soedirman yang baru 29 tahun. Tapi suara komandan daerah bulat. Mereka memilih Soedirman. Alasannya sederhana. Sudah membuktikan diri. Sudah memimpin perang dengan hati. Sudah menyatu dengan rakyat. Dan tentu saja, punya reputasi sebagai kader Muhammadiyah yang lurus.
Soedirman sendiri tidak kampanye. Tidak menggalang dukungan. Tidak main lobi. Ia cuma duduk, mendengar, dan siap menerima apa pun keputusan sidang. Dan justru karena itulah orang semakin yakin. Ini pemimpin.
Ketika akhirnya dilantik oleh Presiden Soekarno, Indonesia resmi memiliki Panglima Besar pertamanya. Dan panglima itu lahir dari rahim Persyarikatan Muhammadiyah.
Kalau hari ini ada yang tanya apa bukti bahwa Muhammadiyah bisa mencetak pemimpin besar, jawab saja dengan bangga.
Namanya Soedirman!
Nashrun minallahi wa fat-hun qariib!
(Setiya Jogja)






Komentar