✍🏻Erizeli Jely Bandaro
- Jika kerusakan ekologi membuat negara kaya, barangkali kita masih bisa menerima luka itu sebagai harga pembangunan.
- Jika hutan yang gundul dibayar dengan sekolah gratis, universitas gratis, rumah sakit memadai, riset maju, tidak ada PHK dan pengangguran single digit, kota teratur, dan rakyat sejahtera, mungkin kita bisa berkata: “Ada ongkos yang harus ditanggung.”
Tapi faktanya?
- Hutan hancur.
- Sungai mati.
- Banjir bandang memutus generasi.
- Dan negara kita tetap saja miskin yang menurut world bank lebih 50% populasi nya miskin, 1 dari empat Balita stunting, bahkan APBN defisit tanpa hutang pemerintah bangkrut, engga bisa ongkosi elite.
Maka pertanyaannya sederhana:
- Untuk siapa sebenarnya ekologi kita digadaikan?
- Untuk kemakmuran siapa hutan ditebang?
- Untuk siapa tanah longsor?
Sebab rakyat hanya menerima murka alamnya, bukan manfaat ekonominya.
Jika kerusakan ekologi yang begitu besar tidak menghasilkan kemakmuran, hanya ada dua kemungkinan:
1. Kita bangsa yang tolol—membiarkan kekayaan alam dijarah tanpa nilai tambah.
Atau…
2. Kita dipimpin oleh gerombolan bandit yang menguasai industri ekstraktif hanya untuk memperkaya diri.
- Sebab negara dengan hutan rusak mestinya punya cadangan devisa besar.
- Negara yang mengekspor nikel, sawit, batu bara, dan kayu mestinya bebas dari jebakan utang.
- Negara yang mengizinkan deforestasi mestinya menabung masa depan, bukan menghancurkannya.
Tapi data berkata lain:
- Utang naik, fiskal seret, defisit membesar, dan ketergantungan impor pangan meningkat.
- Sementara hutan—otoritas terakhir yang dulu melindungi tanah ini—tinggal di peta, bukan di bumi.
Bandit mengambil kayu.
Bandit mengambil tanah.
Bandit mengambil kuasa.
Dan rakyat diberi banjir, longsor, dan statistik korban.
Maka, kalau bangsa ini tidak mau disebut tolol, sudah saatnya bertanya—dengan suara yang keras dan tidak bisa lagi ditekan:
Siapa yang selama ini mengambil keuntungan dari kehancuran ekologi Indonesia?
Dan siapa yang selama ini membiarkan negara ini tenggelam dalam utang sementara hutan-hutannya musnah?
Sebab jika kita tidak mencari jawabannya, tanah yang tersisa hanya akan menjawab dengan cara paling brutal: bencana demi bencana.
Kita bisa saja berdalih ah Indonesia akan baik baik saja. Dari dulu juga begitu.
Itu artinya kita generasi terburuk sama buruknya dengan generasi sebelum kita, yang hanya mewariskan kebodohan dan kerusakan.
(*)







Komentar