Aceh Selatan kembali membuktikan bahwa Indonesia adalah tanah penuh keajaiban. Bukan keajaiban alam, tapi keajaiban logika pejabat publik.
Bayangkan: sebuah kabupaten sedang dilanda banjir dan longsor di 11 kecamatan, warganya masih ngungsi di tenda-tenda, sementara bupatinya justru ngungsi lebih jauh ke luar negeri, sekalian ibadah umroh.
Semua berawal dari sebuah dokumen penting: surat ketidaksanggupan tanggap darurat bernomor 360/1315/2025. Isinya kira-kira seperti pejabat rage-quit: “Maaf ya warga, saya nggak sanggup.” Ini jujur sih. Mungkin terlalu jujur. Bahkan pejabat yang tersandung kasus pun masih sanggup bilang, “Saya akan kooperatif.”
Tapi Aceh Selatan beda. Setelah tanda tangan ketidaksanggupan, lima hari kemudian: cessss, bupati menghilang dari radar. Ternyata bukan ke posko, bukan ke rapat koordinasi, tapi ke Tanah Suci. Membawa keluarga pula. Mungkin beliau berpikir: kalau tak sanggup di dunia, coba minta solusi langsung ke langit.
Sementara itu, warga Trumon masih tidur di tenda darurat. Mereka mendengar kabar bupati pergi umroh mungkin seperti mendengar plot twist sinetron: Hah? Lah? Kok bisa?
Tapi jangan khawatir. Ada klarifikasi resmi: kondisi sudah kondusif, debit air sudah surut, bencana sudah terkendali. Tenang, rakyat. Kalau masih basah sedikit ya sabar, kan tinggal jemur.
Pertanyaannya, kalau semuanya mudah terkendali, kenapa kemarin tanda tangan “tak sanggup”? Ini bencana atau puzzle logika? Apakah bencana di Aceh Selatan bisa dikontrol seperti AC: “ Pencet remote, lalu jadi dingin.”
Dan yang lebih ajaib lagi: bupati ke luar negeri itu kan pasti sepengetahuan Kemendagri. Kok bisa diizinin? Apa karena alasan perjalanannya “ibadah”? Kalau begitu apakah pejabat bisa kabur dari masalah publik dengan tiket pesawat dan label religiusitas?
Atau mungkin sistem perizinannya begini:
“Pak Menteri, izinkan umroh ya.”
“Daerah aman?”
“Aman kok Pak, kan kemarin saya sudah resmi nyerah.”
“Oh yaudah, selamat jalan.”
Kalau benar demikian, wah, bukan hanya banjir yang sedang darurat. Nurani juga sudah masuk status waspada level empat. Darurat nurani!
Warga masih menunggu kepastian: kapan bantuan datang, kapan rumah mereka kering, kapan pemerintah penuh hadir, bukan hanya hadir di foto-foto dokumentasi sebelum keberangkatan.
Tapi inilah ironi negeri kita: ketika rakyat mengungsi karena banjir, pemimpinnya mengungsi karena jadwal ke luar negeri. Ketika rakyat sibuk mengeringkan pakaian, pejabatnya sibuk mengeringkan mata dengan air zamzam.
Dan di tengah semua itu, yang paling surut justru bukan air banjir, tapi rasa empati.
(Setiya Jogja)







Komentar