Kasus keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi tamparan besar bagi wajah pelayanan publik di Indonesia. Program yang seharusnya menyehatkan siswa justru menimbulkan ribuan korban sakit. Pertanyaannya, apakah orang tua siswa hanya bisa pasrah? Tentu saja tidak. Ada sejumlah jalur hukum dan non-hukum yang bisa ditempuh untuk menuntut keadilan sekaligus ganti rugi atas kerugian yang diderita.
1. Mengumpulkan Bukti
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendokumentasikan semua bukti. Hasil diagnosis dokter, kwitansi biaya berobat, foto makanan, hingga kronologi kejadian perlu dikumpulkan dengan rapi. Bukti ini penting sebagai dasar ketika melapor atau menggugat.
2. Melapor Secara Pidana
Orang tua bisa membuat laporan ke kepolisian. Pasal 360 KUHP jelas menyebutkan bahwa kelalaian yang menyebabkan orang sakit dapat dipidana. Dalam konteks ini, vendor katering, pihak sekolah, maupun pejabat pelaksana program bisa dimintai pertanggungjawaban. Jalur pidana memang lebih berorientasi pada penghukuman, tetapi tetap penting untuk memberi efek jera.
3. Mengajukan Gugatan Perdata/Class Action
Jika fokusnya adalah ganti rugi, jalur perdata menjadi pilihan. Orang tua siswa dapat mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri. Dasarnya adalah Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Ganti rugi yang bisa dituntut meliputi kerugian materil (biaya pengobatan, kehilangan penghasilan orang tua karena mendampingi anak) hingga imateril (trauma, penderitaan, rasa takut). Gugatan bersama ini sekaligus menunjukkan solidaritas korban agar tidak terasa sendirian.
4. Menempuh Jalur Administrasi
Selain gugatan perdata, langkah lain adalah melapor ke Ombudsman RI jika ditemukan maladministrasi oleh instansi pelaksana seperti BGN atau pemerintah daerah. Bahkan, gugatan ke PTUN juga bisa diajukan bila ada bukti bahwa kelalaian administratif menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
5. Mediasi dan Tekanan Publik
Tidak semua masalah harus diselesaikan di meja hijau. Mediasi lewat Komnas Perlindungan Anak, Komnas HAM, atau LSM bisa membuka pintu kompensasi cepat tanpa proses panjang. Selain itu, tekanan publik melalui media juga kerap memaksa pemerintah bertanggung jawab lebih serius.
Penutup
Keracunan massal dalam program MBG bukan sekadar masalah teknis distribusi makanan, melainkan soal hak dasar anak untuk mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan. Orang tua siswa tidak boleh diam. Dengan bukti kuat dan langkah hukum yang tepat, suara mereka bisa berubah menjadi gerakan hukum kolektif.
Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memastikan bahwa program populis tidak dilaksanakan secara serampangan. Keadilan harus ditegakkan, dan korban berhak atas pemulihan, baik secara materil maupun imateril.







Komentar