Ibu Wakil Kepala BGN yang terhormat,
Sungguh mengharukan melihat aparat negara yang gagah berani turun membantu korban banjir di Sumatera, tapi lidahnya masih sempat-sempatnya menyindir mahasiswa yang “suka demo” agar ikut turun ke lokasi.
Lucu sekali, seolah-olah mahasiswa selama ini hanya pandai berteriak di jalanan tanpa pernah mengingatkan bahwa penebangan hutan secara membabi buta, yang sering kali dilindungi izin-izin beraroma proyek, adalah biang kerok utama bencana ini.
Mereka sudah bertahun-tahun berteriak sampai tenggorokan kering tentang deforestasi, tambang ilegal, alih fungsi lahan, dan kebijakan yang mempertaruhkan nyawa rakyat demi kantong segelintir orang. Tapi suara itu entah mengapa baru terdengar setelah air naik ke dada dan rumah-rumah terapung.
Lebih lucu lagi, anggaran Makan Bergizi Gratis yang dipimpinnya tahun 2025 mencapai kurang lebih 74 triliun Kalau program itu ditunda sebulan saja, ada sekitar 6 triliun yang bisa langsung dialihkan untuk evakuasi, logistik, tenda, obat-obatan, dan pemulihan korban banjir—tanpa harus meminta-minta sumbangan rakyat.
Jadi kalau sekarang mahasiswa diminta “ikut turun”, sebenarnya mereka sudah turun jauh lebih dulu—turun ke jalan, turun ke hati nurani, turun membela hutan yang Anda dan kawan-kawan pejabat sering kali pura-pura tak melihatnya. Yang terlambat turun justru mereka yang baru sadar ketika kamera televisi sudah menyala dan banjir bisa jadi bahan kampanye empati.
Semoga lain kali, sebelum jari mengetik sindiran, Ibu ingat: mahasiswa bukan musuh negara, mereka cuma pengingat yang dibenci karena kebenarannya terlalu telanjang untuk ditutupi seragam dinas.
Salam hormat dari rakyat yang masih ingat siapa yang selama ini membiarkan hutan ditebang demi proyek megah, lalu menyalahkan hujan ketika air datang menagih.
(✍🏻Ruly Achdiyat Santabrata)







Komentar