Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah saat ini menelan anggaran sangat besar, sekitar Rp28 triliun setiap bulan atau Rp336 triliun per tahun, dengan target penerima manfaat 82,9 juta orang. Meski niat awalnya mulia untuk mengatasi masalah gizi dan stunting, program ini sarat dengan tanda tanya terkait efektivitas dan produktivitasnya.
Alokasi fiskal sebesar itu berpotensi justru tidak menghasilkan perubahan fundamental dalam perekonomian. Memberikan makanan gratis memang bisa menjadi solusi instan, tetapi hanya menimbulkan ketergantungan tanpa menyentuh akar masalah, yaitu rendahnya pendapatan rumah tangga. Padahal, jika dana ratusan triliun tersebut dialihkan ke sektor penciptaan lapangan kerja, hasil yang didapat bisa jauh lebih luas, berkelanjutan, dan menyentuh martabat masyarakat.
Dengan asumsi sederhana, jika rata-rata gaji pekerja di program padat karya atau sektor riil sekitar Rp4 juta per bulan, maka anggaran Rp336 triliun bisa membiayai lebih dari 7 juta pekerja selama setahun penuh. Angka ini jauh melampaui jumlah penerima manfaat MBG yang hanya pasif menerima makanan. Pekerjaan tersebut tidak hanya memberi penghasilan layak kepada orang tua, tetapi juga menggerakkan ekonomi desa dan kota melalui efek ganda (multiplier effect). Uang gaji yang diterima akan dibelanjakan di pasar, menghidupkan UMKM, pertanian, hingga transportasi lokal.
Lebih jauh, pekerjaan produktif bisa diarahkan ke sektor strategis seperti pembangunan infrastruktur, irigasi pertanian, penguatan UMKM, dan industri manufaktur ringan. Hasilnya bukan hanya pendapatan rumah tangga, tetapi juga aset fisik dan kapasitas ekonomi yang bermanfaat dalam jangka panjang. Dengan cara ini, kebutuhan gizi anak terpenuhi melalui peningkatan daya beli orang tua, bukan dari pembagian makanan massal yang rawan inefisiensi, korupsi, dan masalah distribusi.
Memang, sebagian kecil masyarakat yang rentan—seperti balita stunting atau ibu hamil miskin—tetap membutuhkan intervensi langsung berupa bantuan gizi khusus. Namun untuk populasi besar, solusi paling rasional adalah menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan penghasilan.
Oleh karena itu, daripada mempertahankan program MBG yang membakar ratusan triliun tanpa hasil produktif yang jelas, lebih baik pemerintah mengalokasikan anggaran tersebut ke sektor penciptaan lapangan kerja. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat meningkat, roda ekonomi bergerak, dan pemenuhan gizi anak terjadi secara mandiri, berkelanjutan, dan bermartabat.
Aspek MBG (Makan Bergizi Gratis) Program Lapangan Kerja Produktif Anggaran Rp336 triliun per tahun Rp336 triliun per tahun Bentuk bantuan Konsumsi langsung: makanan gratis Pekerjaan dengan gaji tetap Penerima manfaat 82,9 juta orang (pasif, hanya menerima makanan) >7 juta pekerja (aktif), keluarga mereka otomatis ikut terbantu → ±20–25 juta jiwa Efek ekonomi Terbatas, uang habis dalam konsumsi sesaat Multiplier effect: gaji dibelanjakan, UMKM, pertanian, transportasi ikut bergerak Keberlanjutan Jangka pendek, menimbulkan ketergantungan Jangka panjang, memberi keterampilan dan aset produktif Martabat sosial Penerima diposisikan sebagai “penerima bantuan” Penerima merasa dihargai karena bekerja dan menghasilkan Risiko Rawannya korupsi, kebocoran distribusi, logistik Butuh manajemen & perencanaan, tapi hasilnya terukur Dampak gizi anak Instan, tapi terbatas pada saat makanan dibagikan Lebih berkelanjutan: orang tua punya daya beli untuk membeli makanan bergizi setiap hari







Komentar