Cerita dari Dalam Tembok IMIP
✍🏻Catatan Agus M Maksum
Saya selalu percaya bahwa di Indonesia, hal-hal aneh hanya butuh sedikit waktu untuk menjadi hal yang biasa. Tapi yang satu ini… bahkan waktu pun sepertinya menyerah.
Bayangkan:
Setiap hari — bukan setiap minggu, bukan setiap akhir bulan — 50 sampai 100 orang TKA Cina turun ke bumi Morowali.
Setiap hari.
Seperti harga cabai.
Dan bukan hanya insinyur atau teknisi.
Ada juga tukang sapu yang digaji 16–17 juta rupiah.
Saya ulang:
Tukang sapu.
Di Indonesia, gaji sebesar itu biasanya didapat oleh orang-orang yang ikut tender, bukan yang ikut nyapu.
Lalu kenapa mereka diboyong dari Tiongkok?
Jawaban narasumber saya sederhana:
Tiongkok sedang kelebihan orang.
Kita kekurangan lapangan kerja.
Mereka kekurangan pekerjaan.
Solusi globalisasi paling cepat: kirim manusia.
Masalahnya, IMIP ini bukan pabrik.
Ini seperti negara kecil yang kebetulan menumpang di Indonesia.
Ada bandara sendiri.
Ada pelabuhan laut sendiri.
Ada rumah sakit sendiri.
Ada pasukan pengaman sendiri — MSS — yang bahkan bupati pun tidak bisa menembusnya.
Ini kompleks industri atau kompleksitas kenegaraan?
Lalu ada cerita kontainer dari Tiongkok yang masuk mulus tanpa Bea Cukai.
Saking mulusnya, seperti tidak ada negara di situ.
Bahkan segel pun tidak repot-repot ditempel.
Saya pernah lihat pelabuhan yang sibuk.
Tapi pelabuhan yang tidak sibuk memeriksa kontainer… itu temuan baru.
Sidak DPR?
Sidak Menteri?
Semua nihil.
Lho, bagaimana bisa?
Ternyata IMIP punya keunggulan teknologi yang belum dimiliki pemerintah:
SOP Hilang-Manusia-Instan™.
Begitu alarm menyala, ribuan TKA langsung dievakuasi ke hutan.
Kecepatan evakuasinya mengalahkan proses pindahan kos-kosan mahasiswa saat menjelang Lebaran.
Hasilnya?
Setiap sidak pulang dengan laporan yang bersih.
Lebih bersih dari meja direksi BUMN sebelum rapat audit.
Sementara itu, warga Morowali kehilangan tambak, kehilangan air tanah, kehilangan udara bersih.
Yang tersisa hanya CSR pipanisasi 10 km yang ketika diukur… panjangnya 4 km.
Mungkin kilometernya ditulis pakai ukuran dunia maya.
Dan ketika saya tanya narasumber:
“Kenapa Anda akhirnya bicara?”
Ia menjawab pendek saja:
“Karena kalau saya diam, nanti anak cucu mengira Morowali itu kabupaten di Cina.”
Jawaban itu membuat saya tercenung.
Ternyata benar, hal-hal aneh di Indonesia tidak menunggu waktu untuk menjadi biasa.
Kadang, yang tidak biasa justru… negara yang tidak muncul-muncul.







Komentar