Bu Ira yang saya kenal

Oleh: Agung Pamujo*

SEPTEMBER, 2018. Saat itu, sebagai Sekretaris Perusahaan di sebuah BUMN, saya mendampingi Direktur Utama (Dirut). Akan menghadiri acara Kementerian BUMN di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta. Saya naik Garuda Indonesia dari Jakarta.

Seperti biasa, saya memilih duduk di kursi darurat, di baris tengah. Yang jaraknya lebih longgar. Saya selalu minta ke staf kantor yang mengurus tiket untuk pesan baris tersebut. Pesan dengan sangat.

Saat hendak keluar dari pesawat, setelah beberapa orang dari baris belakang lewat dan terlebih dulu berjalan meninggalkan pesawat, saya baru berdiri. Mengambil tas di kabin.

Saat itulah, bahu saya ditepuk. Saya menoleh. Ternyata Ira. Ia, teman yang saya tahu saat itu Dirut PT. ASDP Indonesia Ferry. “Hadir di acara di Inna, kan?” katanya. Saya mengangguk. Sambil berpikir: Ira (seorang Dirut BUMN) berarti duduk di baris belakang.

Lalu, saya teringat ke Dirut saya, yang duduk di kelas bisnis. Ira di ekonomi, baris belakang lagi.

Saat itu, ASDP yang dipimpin Ira terus melesat. Laba usahanya juga terus meningkat. Dibandingkan BUMN saya, laba ASDP hampir 70 kali lipat.

Tapi, Ira duduk di kelas ekonomi, baris belakang lagi. Saya memang juga di ekonomi, tapi selalu minta baris yang lebih nyaman. Dan, Dirut saya, yang mencetak laba 1/70 dari laba yang dicapai Ira di ASDP, di kelas bisnis.

Meski saya kenal Ira sejak lama, dan tak pernah ragu akan integritasnya, saya masih berdecak. Saat itu. Dan, juga saya malu sendiri.

Lebih-lebih, saat beriringan di terminal bandara, saling nanya nginap di mana. Saya bilang di lokasi acara, Inna Garuda. “Aku di Amaris,” kata Ira.

Saya kembali tercenung. Inna Garuda bintang 4. Saya pilih menginap di situ, karena di lokasi acara. Ira, di Amaris yang bintang 2.

Dan, saya makin tercenung, ingat Dirut saya. Dirut BUMN saya, yang labanya 1/70 laba ASDP, nginap di Hotel Tentrem (hotel bintang 5). Hari itu, tarif Tentrem hampir 5 kali lipat tarif Amaris.

“Acara kita kan seharian. Hotel muk gawe turu,” kata Ira, berbahasa Jawa yang artinya Hotel cuma buat tidur.

Saya, terkesiap. Saat itu.
Meski, ternyata itu bukan kali pertama saya tercenung, lalu terkesiap, dan berdecak. Dengan sikap Ira.

Dan, tentu saja bukan pula yang terakhir.
Karena, beberapa kali bertemu Ira lagi, saya kembali terkesiap, tercenung dan berdecak.

Seperti saat tahun 2023. Saat itu, Maret 2023, ada teman nikahin anaknya. Di Malang. Ira, saya, sama-sama diundang. Juga beberapa teman-teman lain di luar Malang. “Nginep nang omahku wae. Kene ngumpul, crito-crito,” kata Ira. Menginap di rumahku saja. Berkumpul. Cerita-cerita, itu ajakan Ira.

Ira memang punya rumah di Malang. Dia beralasan, biar tidak harus ke hotel kalau sedang ke Malang. Kota kelahirannya. Kota tempat dia kuliah S1, di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (Fapet UB). Salah satu kota favoritnya.

“Meski kecil, senang bisa punya rumah di Malang,” katanya soal rumahnya di Malang itu. Rumah tiga kamar yang memang cukup sederhana dimiliki Ira, yang saat membeli rumah itu –sekitar tahun 2013– adalah Direktur di GAP Inc, perusahaan ritel Amerika.

Dan, Ira mewujudkan niatnya beli rumah di Malang itu, memang untuk dimanfaatkan. Saat balik, berkarier di Indonesia, mulai jadi Dirut Sarinah, Direktur di PT Pos Indonesia dan di ASDP, ia sering lebih memilih menginap rumahnya itu.

Termasuk, pada Maret 2023 itu. Saat itu, selain untuk menghadiri undangan nikahan dari teman, Ira ke Malang, habis dari agenda ASDP di Surabaya. Dari Surabaya, ia lanjut ke Malang. Untuk hadiri undangan nikahan anak teman itu.

Ia pun mengundang teman-teman yang juga mau hadir ke undangan nikah teman itu, untuk nginap di rumahnya. Saya, salah satunya. Saya datang dari Sidoarjo bersama dua teman –teman satu sekolah yang jadi pasangan suami istri–, naik mobil teman tersebut. “Ira minta dibawakan pisang goreng sama mi godok (mi rebus),” kata teman tadi.

Saat sampai di rumah Ira di Malang, sempat heran kok tidak ada mobil di depan rumahnya. Saya teringat ke teman-teman yang jadi direksi BUMN, di manapun selalu ada mobil dengan sopir yang menunggu. Seringnya Alphard. Termasuk, kebiasaan Dirut saya.

“Mungkin sopirnya disuruh pulang. Nginap tempat lain,” pikir saya.

Saya ingat rumah Ira hanya tiga kamar. Dua untuk kita teman-temannya (saat itu berenam, tiga cowok, tiga cewek. Jdi, satu kamar untuk cowok, satu cewek). Satu kamar lagi dipakai pasangan suami istri yang jadi penjaga rumah Ira di Malang itu. Jadi, mungkin sopirnya disuruh nginap di tempat lain.

Tetapi, paginya, sampai menjelang berangkat ke acara nikahan, tidak ada mobil datang. Tidak Alphard, bahkan Innova.

Yang datang malah Avanza, mobil teman yang tinggal di Malang. Yang juga mau undangan nikahan itu. Ira pun nyantai ikut mobil Avanza itu. “Ayo berangkat…,” katanya.

Menyadarkan saya yang –lagi-lagi– tercenung, terkesiap, saat itu. Membayangkan dirut saya, yang mencetak laba hanya 1/70 dari Ira, kalau pas di luar kota, pilih-pilih harus naik mobil apa. Teringat juga, beberapa teman Direksi yang bahkan untuk urusan pribadi, tetap pakai mobil kantor yang pasti bukan Avanza.

Saat bercerita kisah tersebut anak-anak saya –saat mereka bersiap masuk dunia kerja–, saya bilang: “Itulah integritas, nDuk.”

**

Saya –beruntung– berteman dengan Ira, sejak lama sekali. Kami satu kelas sejak kelas 1 di SMAN 1 Sidoarjo. Lalu, sekelas lagi, saat kuliah di Fapet UB.

Lulus kuliah, sempat lama tidak terhubung. Baru terhubung lagi, saat saya sudah bekerja di Jawa Pos. Kebetulan suami Ira, mas Zaim Uchrowi, juga orang media. Tempo, Republika, dan sempat menjadi Komisaris Utama Kantor Berita ANTARA. Jadi, pertemanan kami bersambung.

Awalnya saya dan Ira, nyambung ke saya dan Ira-Mas Zaim. Bersambung lagi menjadi pertemanan keluarga, kemudian.

Sebagai teman sejak begitu lama, saya beruntung, punya teman yang jelas integritasnya. Selain tentu saja unggul dan baik pribadinya.

Meski, saat masih sama-sama SMA itu, sejujurnya, saya tidak merasa beruntung! Karena, merasa mendapat saingan, lawan berat! Termasuk, saingan dalam hal organisasi di sekolah.

Ira, sejak SMA sudah tegas dan punya prinsip. Waktu SMA itu –tahun 1984-, dia sudah maju ke kepala sekolah untuk izin memakai jilbab. Saya, teman sekelasnya, bukannya mendukung. Saya malah menentangnya dengan prinsip sok pakai aturan: “Kalau mau pakai jilbab ya di sekolah …..” Saya menyebut nama sekolah agama waktu itu.

Astaghfirullah. Saya masih jahiliyyah saat itu. Ira mengaku saat itu sakit hati dengan saya. Kami sekelas, tapi tidak seiring.

Dan, berlanjut saat pemilihan ketua OSIS. Saya saat itu ketua kelas. Saya terpilih jadi ketua kelas, bukan Ira, bukan karena lebih baik, dari ia. Lebih karena, teman cowok banyak milih saya.

Teman-teman yang saat itu kebanyakan masih remaja, naif, memang banyak yang segan dengan
Ira. Ia tegas dan cenderung galak. Berani, bahkan saat harus berdebat lawan cowok. Saya juga beruntung, teman-teman cewek, memilih saya. Kata Ira, karena kerjaan saya tebar pesona …hehehe. Jadilah, saya yang terpilih jadi ketua kelas.

Tapi, Ira yang berkualitas tetap punya tempat: ia dipilih jadi wakil kelas saya untuk maju dalam pemilihan Ketua OSIS.

Ira yang saat itu juga memimpin tim majalah sekolah, punya peluang untuk menang. Karena, yang berhak memilih adalah para ketua kelas. Dari kelas 1 sampai kelas 3, di setiap tingkat ada 8 kelas.

Karena yang memilih para ketua kelas yang bisa jadi suka pemimpin yang tegas, Ira memiliki peluang.

Tapi, Ira gagal mendapat suara terbanyak, saat itu. Dia di urutan 2, dan jadi wakil ketua OSIS. Dan, tahukah penyebabnya? Ya, antara lain karena saya, yang saat itu naif, merasa Ira saingan, tidak memilih ia. Saya bahkan berkampanye againts her. Maafkan ya Ir..

Tapi, itulah Ira yang harus saya akui, saat itu sudah lebih dewasa dari saya. Hal itu tidak menjadikan kita bermusuhan. Kita masih sering berdebat, tapi bukan berarti tidak bersahabat.

Saat sama-sama kelas 3 dan tidak lagi berorganisasi, kita sering bareng lagi. Ia tidak segan ke rumah, bersama teman-teman lain, untuk belajar jelang ujian. Untuk pelajaran yang ia anggap saya lebih bisa, ia tidak segan belajar. Itu di pelajaran Bahasa Inggris.

Dan, itu berlanjut saat kuliah. Di Senat Mahasiswa, kita di departemen yang sama. Di kepanitiaan, saat saya jadi ketua, ia membantu jadi Seksi Acara.

Saya pun beruntung jadi saksi, keunggulan ia, dari SMA berlanjut hingga kuliah.

**

Berlanjut lagi saat sama-sama di dunia kerja. Saat itu, ia berkarier di GAP, yang membuat ia lebih sering di luar negeri. Lama sekali tidak kontak, lalu nyambung kembali saat ada Facebook (FB) 2008. Saya yang saat juga sudah pakai FB, tiba-tiba mendapat pesan di messenger FB. Dari Ira.

Kita pun ngobrol via messenger. Saya, agak sok, menulis pesan dalam bahasa Inggris. Ira, menulis jawaban: “Kuakui, waktu SMA kamu lebih jago bahasa Inggris. Tapi, kalau sekarang …pakai boso Sidoarjo ae. hahaha.”

Saya pun menurut, sadar diri. Ira masih aktif berbahasa Inggris, ia bekerja di GAP Inc. Saya, saat itu, memimpin koran Jawa Pos di Tulungagung, yang karenanya lebih sering ber-inggah inggih dari pada oh no oh yes.

Tapi, kontak sambung kami tentu bukan hanya soal bahasa. Ira mengingatkan, untuk memikirkan teman-teman kita. Diawali dengan teman-teman sekelas di IPA 5 SMAN 1 Sidoarjo.

Ia menginisiasi reuni, agar tahu teman-teman kita bagaimana. Apakah ada yang perlu dibantu. Atau ada yang sakit, bahkan meninggal. Jadilah, reuni pertama kelas IPA5 setelah sama-sama dalam kondisi sudah berkarier tahun 2008. Ira sponsornya.

Berlanjut ke reuni teman kuliah, Fapet angkatan 1986 pada tahun 2009. Di tengah kesibukan di GAP, Ira datang di Tulungagung, tempat reuni. Ia membawa sekarung celana, kemeja, sweater dan produk GAP. Untuk dilelang, dan hasilnya untuk dana alumni. Disiapkan untuk membantu alumni yang membutuhkan.

Berlanjut lagi ke reuni akbar teman-teman SMA angkatan 1986. Ia menyempatkan hadir dalam rapat persiapan, ikut merancang dan juga menyediakan dana awal yang nilainya besar untuk keperluan reuni.

Dengan langkah sistematis, ia juga merancang rencana agar reuni berlanjut dengan aksi yang bermanfaat bukan saja bagi sesama rekan alumni, tapi juga buat SMA dan Kota Sidoarjo. Ira, Direktur GAP yang langkahnya internasional, tidak segan turun tangan, bersama-sama kita, untuk memikirkan aksi-aksi bagi kepentingan lokal.

Dan itu berlanjut lagi, lagi, lagi dan lagiiiiiiiiiiiiii….mulai dari rutin menambah kas dana alumni, ikut mengunjungi teman atau guru sakit kalau pas dia ada di Indonesia, atau sekadar kumpul-kumpul.

Paling sering ia menyediakan rumahnya sebagai tempat kumpul dengan alasan: Aku bisa menyiapkan makanan sendiri untuk teman-teman, kata Ira yang paling hobi menyuguhkan rawon khas Sidoarjo dengan kerupuk udang Siok.

**

Bantuan untuk teman juga bukan cuma menyiapkan makanan dan ringan tangan urunan. Ira juga membantu untuk urusan yang tidak tanggung-tanggung.

Tahun 2011, istri saya kena serangan stroke ringan. Saat itu, saya tinggal di Semarang. Ira dan Mas Zaim menghubungi saya, menawarkan perawatan khusus untuk istri saya.

Ada ahli yang biasa menangani pasien stroke, di Pasar Kemis, Tangerang. Perawatan butuh waktu, setidaknya satu minggu. “Kalau Mas Pam sibuk, antar Mbak Wiwed (istri saya) ke Jakarta. Mas Pam menemani sehari saja berobat, setelah itu kami yang urus,” kata Mas Zaim, waktu itu. Saya Agung Pamujo, biasa dipanggil Pam memang.

Dan, begitulah. Istri saya bukan saja ditampung di rumah pasangan baik ini. Namun, setiap hari disediakan sopir untuk mengantar berobat.

“Yang dilakuan Mbak Ira ini membuat saya jadi tahu,.apa arti seorang teman,” kata istri saya, yang saat itu, alhamdulillah,.membaik setelah sekitar sepuluh hari diurus Ira dan Mas Zaim.

“Ah, Pam…kamu tahu teman itu saudara. Saudara yang kita pilih,” kilah Ira, saat saya mengucapkan banyak terima kasih.

Saya saat itu teringat betapa “jahat”nya saya sama dia, saat SMA. Sementara Ira, sebaliknya malah terus ingat betapa ia harus terus berbuat manfaat bagi teman-temannya.

Dan, itu memang. Bukan hanya saya yang merasakan perbuatan manfaat Ira. Seorang teman kuliah di Fapet UB, yang karena keadaan harus bekerja di Hongkong (atau Taiwan?) sedang mengalami masa-masa tidak baik dengan pekerjaannya di negeri orang itu.

Ira yang saat itu masih di GAP Inc, dalam satu agenda kerjanya sampai di tempat teman bekerja itu. Ia menemui, dan mendengar masalahnya. Ia pun berbuat, membantu teman itu pulang.

Menampung sementara di rumahnya di Jakarta. Membantunya mendapat pekerjaan lagi di Indonesia. “Saya tidak tahu jadi bagaimana kalau waktu itu tidak ditolong Ira,” kata teman yang ditolong itu.

Karena Ira memang juga sudah teman bagi keluarga kami semua, saya suka berbagi cerita-cerita Ira itu ke anak-anak. “Itulah kebaikan…,” kata saya kepada anak-anak yang heran kok Tante Ira-nya bukan saja beberapa kali kirim buku-buku bagus buat mereka, tapi sampai mau mengurus perawatan Ibu mereka.

**

Pertemanan panjang dan menyaksikan dan merasakan integritas, kebaikan dan keunggulan Ira, tentu membuat saya tidak ragu dan pasti percaya dengan ia. Saya yakin, bukan hanya saya. Banyak teman-teman, juga demikian.

Bukan hanya saya dan teman di Hongkong tadi, banyak lagi teman yang saya tahu Ira sentuh dengan perbuatan manfaat.

Juga, sudah banyak tulisan tentang keunggulan ia dalam membawa ASDP melesat. Yang menyatakan keunggulan itu bahkan beberapa tokoh ternama negeri ini.

Sudah banyak pula kesaksian yang menyatakan bahwa kasus yang terjadi ini adalah aneh. tidak semestinya, bahkan tidak seharusnya terjadi.

Salah satunya, saya dengar sendiri. Saat saya bersama teman-teman SMA, teman kuliah, dan kerabat Ira hadir dalam sidang putusan kasus ASDP di PN Jakarta Pusat, Kamis (20/11/2025).

Hakim Sunoto SH, MH menegaskan apa yang dilakukan Ira dan dua direksi ASDP lain adalah aksi korporasi. Sebuah langkah bisnis yang bukan saja dilindungi Business Judgement Rule, tapi juga berdampak manfaat bagi ASDP.

Hakim Sunoto juga menilai tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar, dan seharusnya Ira dan dua direksi ASDP diputus bebas. “Terdakwa telah beriktikad baik dan berhati-hati tanpa memiliki niat jahat (mens rea) untuk merugikan negara,” kata Hakim Sunoto.

Saya bersyukur, saat itu, mendengar lagi, Ira kembali membawa manfaat. Seperti yang sudah sering dilakukan seperti ini.

Tapi, kita tahu bersama, dua hakim lain berpendapat sebaliknya. Mereka mengakui tidak ada keuntungan yang diambil Ira dan dua rekannya. Tapi, mereka tetap menganggap Ira menguntungkan pihak lain. Ira dan kawan-kawan dianggap merugikan negara.

Meski, dua hakim itu tahu, dasar yang dipakai menyatakan ada kerugian negara, tidak sesuai dengan ketentuan. Meski, dua hakim itu juga tahu –setidaknya mendengar pendapat hakim Sunoto–, aksi bisnis Ira dalam masalah yang dikasuskan ini membawa dampak manfaat bagi ASDP dan juga masyarakat.

Dua hakim itu, juga mendengar pendapat hakim Sunoto, bahwa tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Bahkan, seperti yang disampaiakan Hakim Sunoto, aksi bisnis Ira dan dua rekannya didasari uji tuntas yang komplet dengan melibatkan 7 lembaga kompeten. Termasuk BPK, BPKP, kejaksaan dan dua konsultan bisnis ternama PWC dan Deloitte.

Tapi, dua hakim itu tetap menyatakan Ira dan dua rekannya bersalah. Bahkan, yurisprudensi kasus serupa tidak menggoyahkan keduanya memutus bersalah. Yang karena dua pendapat bersalah mengalahkan satu pendapat bebas, putusannya menjadi bersalah.

Tapi, setelah menyaksikan sendiri, Ira yang bahkan sudah jadi haknya saja tidak diambil bagaimana saya bisa yakin dia mau mengambil yang bukan haknya? Setelah membuktikan sendiri bagaimana cermat dan rapinya dalam merancang sesuatu, bagaimana saya mau percaya dia melakukan sesuatu yang dikatakan melawan aturan dan ketentuan yang ada?

Saya tahu, Ira tegar. Dan tawakal. Ia siap menerima putusan yang diyakini memang sudah ada dalam ketentuanNya. Demikian pula Mas Zaim, dan keluarga Ira lain. Saya dengar sendiri waktu kita melakukan doa bersama, beberapa hari sebelum saat sidang putusan.

Tapi, saya tetap merasa tidak tahu, mengapa ini harus terjadi? Kepada Ira? Yang saya ceritakan ke anak-anak saya integritasnya. Kebaikannya. Keunggulannya. Meski, untuk yang terakhir ini anak-anak saya, seperti banyak anak muda lain bisa menemukan bertebaran di banyak platform media sosial. Dari pengakuan banyak sosok unggul negeri ini.

Tentu saja, apa pun, saya yakin, Allah Swt selalu punya ketetapan yang terbaik bagi hambaNya. Termasuk, kepada Ira.

Itu yang membuat saya dan ayo kita semua, yakin. Masih ada yang bisa kita perbuat. Masih ada yang bisa kita mohonkan. Doa.

Untuk ia, Ira. Ira Puspadewi

(*sumber: fb)

Komentar