Bertemu Mbak Tutut

Oleh: Geisz Chalifah

Saya tak pernah mengenal Mbak Tutut—Siti Hardiyanti Rukmana. Ia anak Presiden, pengusaha sukses, dan sosok yang terasa jauh sekali untuk dijangkau. Di mata saya, ia hanyalah figur yang muncul di televisi dan koran.

Awal 90-an, jalan Cendana dan sekitarnya adalah wilayah yang “angker” untuk dilewati. Kekuasaan Soeharto membuat saya berpikir: lebih baik hindari tempat itu.

Setelah tamat kuliah, saya tidak melamar kerja kantoran. Saya memilih berbisnis sendiri, mulai dari suplier keramik lantai sebelum beralih ke properti.

Suatu ketika, seorang mandor bernama Pak Mamat—yang mengerjakan rumah Mas Indra Rukmana, suami Mbak Tutut, di Cinere—meminta bantuan. Ia kekurangan dua lembar keramik Ikad untuk kamar mandi, padahal sudah keliling ke banyak toko. Saya carikan ke distributor, dan pekerjaannya itu pun terselamatkan.

Sejak saat itu, setiap ada kebutuhan keramik, Pak Mamat selalu menghubungi saya. Suatu pagi ia meminta saya datang ke Jalan Tanjung, menghitung kebutuhan keramik di rumah Mas Indra dan Mbak Tutut.

Dengan Kijang Pick Up butut—mobil pertama saya—saya pun berangkat.
Saat tiba di halaman rumah itu, saya mengurungkan niat untuk masuk. Mbak Tutut sedang berdiri di sana, dikelilingi beberapa orang, berbincang di samping mobil yang siap mengantarnya. Sosok yang selama ini saya anggap “di atas segala-galanya” ada tepat di depan mata.

Satpam bertanya apa keperluan saya. Setelah saya jelaskan, sesuatu yang tak terduga terjadi: Mbak Tutut meminta saya masuk. Ia meninggalkan para tamunya, lalu mengantar saya berkeliling ke dalam rumah, menunjukkan ruang-ruang dan kamar mandi yang akan direnovasi.

Sangat ramah. Sangat bersahaja. Hingga saya berpikir dalam hati: ini benar Mbak Tutut, anak Presiden itu?

Pekerjaan itu saya tuntaskan, lalu tenggelam dalam kesibukan lain. Dan dalam seumur hidup, hanya sekali itulah saya bertemu Siti Hardiyanti Rukmana. Tapi kesan yang tertinggal darinya, tetap terpatri dalam ingatan sampai hari ini.

(fb)

Komentar